Oleh Suryo Winarno
Prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I tahun 2021 melambat menjadi kenyataan saat ini. Badan Pusat Statistik (BPS) telah memberi penjelasan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun 2021 masih kontraksi alias minus. Dengan demikian puncak resesi terjadi kuartal II tahun 2020.
Semoga kabar baik tersebut diikuti perbaikan kesehatan masyarakat mengingat virus baru yang lebih ganas dari Inggris dan India telah muncul di Indonesia. Selain itu, diharapkan yang warga meninggal makin rendah sehingga mobilitas masyarakat bisa lebih lancar sehingga ekonomi normal.
Meski harapan itu masih impian karena tingkat disiplin sebagian masyarakat menerapkan 5M (memakai masker, mencuci tangan pakai sabun, menjaga jarak, menghindari kerumunan, mengurangi mobilitas) berkurang karena tekanan corona telah berjalan lebih satu tahun.
Bagaimana dampak pandemi Covid-19 terhadap pola konsumsi nutrizi masyarakat? Seperti diketahui pola konsumsi nutrizi berkaitan dengan daya beli masyarakat akibat Corona. Secara sederhana, daya beli masyarakat berkurang mengikuti pertumbuhan ekonomi negara yang minus selama tiga kuartal tahun lalu, dilanjutkan minus kuartal I tahun 2021.
Tahun 2020, pertumbuhan ekonomi tiga kuartal minus dan kuartal pertama positif sehingga secara komulatif pertumbuhan ekonomi tahun 2020 menjadi minus 2,1 persen. Secara rinci, pertumbuhan ekonomi triwulan I sebesar 2,97 persen, triwulan II minus 5,32 persen, triwulan III minus 3,49 persen, triwulan IV minus 2,19 persen, dan triwulan I 2021 minus 0,74 persen.
Berdasarkan gambaran ekonomi tersebut, semua sektor industri mengalami penurunan aktivitas, kecuali industri terkait kebutuhan pokok masyarakat dan terkait kesehatan tumbuh positif. Akibat penurunan aktivitas industri maka perusahaan merumahkan dan menghentikan karyawan untuk mengurangi kerugian lebih besar.
DAMPAK PANDEMI
Dampak pandemi terhadap kehidupan rakyat jelas memilukan. Semula pertumbuhan ekonomi memberikan harapan peningkatan kesejahteraan namun pandemi Covid-19 memupus harapan itu tanpa tahu kejelasan waktu usai transmisi Corona di Bumi Nusantara.
Tahun 2015 rata-rata upah buruh Rp 2,1 juta per bulan, tahun 2016 naik Rp 2,6 juta tiap bulan, tahun 2017 naik menjadi Rp 2,7 juta per bulan, tahun 2018 meningkat jadi Rp 2,8 juta, tahun 2019 naik menjadi Rp 2,9 juta per bulan, tahun 2020 turun menjadi Rp 2,7 juta per bulan.
Dengan penurunan penghasilan tersebut, bagaimana pola konsumsi nutrizi balita? Penelitian Yayasan Abhipaya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) yang dirilis November 2020 menemukan 1 dari 4 anak bayi di bawah lima tahun (balita) meminum (susu) kental manis setiap hari.
Penelitian ini dilaksanakan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, NTT, dan Maluku melibatkan 2.068 ibu yang memiliki usia 0 – 59 bulan atau 5 tahun.
Menurut Ketua Harian YAICI Arif Hidayat, 28,96 persen dari total responden mengatakan kental manis merupakan susu pertumbuhan dan 16,97 persen ibu memberikan kental manis untuk anak setiap hari.
Sebanyak 48 persen ibu mengetahui kental manis sebagai minuman untuk anak dari televisi, majalah/koran, media sosial, dan 16,5 persen kental manis tahu dari tenaga kesehatan. Sumber berita utama masyarakat Indonesia, ternyata hampir sama laporan University of California (USA), berurutan TV, berita daring, media sosial, dan media cetak (koran/majalah).
Temuan menarik lainnya adalah kategori usia paling banyak mengkonsumsi kental manis. Anak usia 3-4 tahun meminum kental manis sebanyak 26,1 persen, disusul anak usia 2 – 3 tahun sebanyak 23,9 persen. Sementara konsumsi kental manis oleh anak 1 – 2 tahun sebanyak 9,5 persen, usia anak 4 – 5 tahun sebanyak 15,8 persen, dan usia anak 5 tahun sebanyak 6,9 persen sebagai minuman sehari-hari.
Berdasarkan data tersebut, anak-anak terbanyak meminum kental pada usia 3 – 4 tahun, disusul usia 2 – 3 tahun, usia anak 4 – 5 tahun, anak usia 1 – 2 tahun, anak usia 1 – 2 tahun. Hal ini menunjukkan efektivitas pemberian label peringatan bahwa produk ini tidak cocok untuk anak di bawah 1 tahun.
Namun, dimata pemerhati nutrizi tingginya persentase konsumsi kental manis dianggap ibu pemilik anak kecil belum mengetahui penggunaan kental manis meskipun seorang ibu berdomisili di ibu kota Jakarta. Lantas, bagaimana konsumsi susu bubuk untuk bayi dan konsumsi kental manis sebelum pandemi Corona?
Susu bubuk bayi dikonsumsi mengalami penurunan tajam, sebaliknya konsumsi kental manis naik terus. Buktinya, tahun 2013, 2014, 2015, 2016, 2017, masing-masing tahun konsumsi susu bubuk 1.300 gr per tahun, 2.300 gr per tahun, 676 gr tiap tahun, 676 gr per tahun, 676 gr tiap tahun.
Sedangkan konsumsi kental manis periode yang sama adalah 1.1976,56 gr/tahun, 1.276,84 gr setiap tahun, 1.424,24 gr/tahun, 1.630,72 gr/tahun, dan 1.836,16 gr/tahun (BPS, 2013-2017).
Apa sebab konsumsi susu bubuk bayi turun tajam dan kental manis naik terus?
Diduga harga kedua produk yang berbeda jauh sehingga masyarakat akan memilih produk yang murah ditengah himpitan ekonomi akibat resesi. Misal, harga kental manis terkecil Rp 1.500,00 per 40 gram, harga susu bubuk paling sedikit Rp 3.000,00 per 27 gram.