Lalu sebagai orang tua, baiknya kita bagaimana?
Seringlah berdialog tentang apa gambaran anak-anak kita untuk masa depan mereka. Dengarkan dengan tulus sampai kita dapat inti terkait panggilan mereka. Dari sekian kali dialog, kita akan merasakan apa panggilan profesinya, yang akan menjadi pegangan di masa depan. Sekiranya mau jadi seniman, seni pahat misalnya, sebagai orang tua tentulah mengupayakan agar apa yang menjadi panggilannya terakomodasi.
Lalu, bagaimana gaya belajarnya? Dari beberapa kali dialog, harusnya kita dapat menyarikan kenderungan gaya belajarnya. Paling tidak ada tiga gaya belajar dasar, yaitu verbal, visual dan fisikal (menurut Gardner, sebenarnya terdapat sembilan kecenderungan gaya belajar, dikenal dengan istilah kecerdasan jamak).
Dengan mengetahui kecenderungan gaya belajar, kita semakin paham memfasilitasi lingkungan belajar anak menjadi lebih baik sehingga mereka mampu mengeluarkan yang terbaik dari dalam dirinya. Tanpa itu, beban belajar anak akan menggandoli orang tuanya. Artinya, meski anak yang sekolah, tetapi yang terpontal-pontal justru orang tuanya.
Catatan: Dalam ilustrasi sebelumnya, setelah melalui dialog, orang tua katakan paham panggilan anaknya menjadi seniman pemahat. Lalu gaya belajarnya visual. Kita, sebagai orang tua, baiknya memfasilitasi sedemikian rupa sehingga dia dapat mermperlihatkan keunggulan dalam belajar, menjadi pemahat unggul.
Sayangnya, sering terjadi, begitu panggilan anak tidak seperti harapan orang tua, tak jarang orang tua memaksakan kehendak. Ketika pemaksaan terjadi, apa yang diuraikan dalam karya Nolte di atas, utamanya di empat baris awal, akan terjadi.
Ingat, sebagian besar kita orang tua rela melakukan apa saja untuk anak-anak kita. Kecuali: Membiarkan mereka menemukan dan mengembangkan panggilan sejati mereka sendiri! Di saat ada pengingkaran terhadap panggilan mereka, utamanya dari orang terdekatnya, orang tua dalam konteks ini, tidak mudah buat anak menunjukkan kinerja dan prestasi terbaiknya di sekolah.
Apa lagi guru, makin sulit memfasilitasi pembelajaran anak yang tidak sesuai dengan panggilannya dan pelajaran yang digeluti.
Ketulusikhlasan orang tua mendukung anak agar bisa menjadi diri sendiri merupakan muhasabah yang tidak pernah berujung. Mari pahami anak dengan seutuhnya, agar mampu menghargai diri sendiri, bersikap tulus, percaya diri dan juga percaya orang lain.
Juga memiliki pendapat atau anggapan bahwa alam semesta ini merupakan tempat indah untuk didiami bersama segenap isinya.
Di antara kita, sesunggunya tidak ada yang lebih tinggi atau rendah juga setara. Masing-masing adalah unik, tak dapat diperbandingkan. Mari, lihat dan dengar dengan mata dan telinga serta hati, apa yang menjadi panggilan anak-anak kita.
Dengan begitu, kita dapat berharap mereka bukan hanya belajar mengetahui apa yang tadinya mereka tidak ketahui. Tetapi sekaligus mereka belajar untuk mengetahui bagaimana mengeluarkan hal terbaik yang ada di dalam diri masing-masing.
Ayo siapkan generasi emas Indonesia yang cerdas dan berkarakter. Cerdas: spiritual, emosional, intelektual dan fisikal. Berkarakter keindonesiaan utuh: bertakwa, menghargai hak asasi manusia, cinta Tanah Air, berjiwa demokratis dan menjunjung kebersamaan.
Foto Utama oleh Juan Pablo Serrano Arenas dari Pexels