Wacana 5. Nah, ini dia… Pendidikan tidak terjadi di meja. Tetapi terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Langsung dan nyata. Dalam rupa pencaharian dan penjelajahan. Juga dalam interkasi aktif dengan kehidupan.
Meski membutuhkan perjuangan hebat memutarbalikkan paradigma ini, kita disarankan mempercayai anak-anak. Tidak ada yang lebih sederhana atau lebih sulit, namun terasa sulit memercayai anak-anak.
Jadi, kita harus belajar memercayai diri sendiri terlebih dahulu. Kebanyakan dari kita sering mendapati kenyataan bahwa tidak (belum) bisa dipercaya. Harus hati-hati, sebab terlalu mempercayai anak tanpa limit juga tidaklah bijak. Harus seimbang dan natural.
Waspada!
Ilustrasi: Andai seorang anak lemah dalam pelajaran Kimia, namun handal dalam bulutangkis. Kebanyakan orang tua akan ngotot mencari guru Kimia demi membantunya unggul dalam Kimia. Mengapa tidak dibalik? Mencari pelatih bulutangkis handal, sehingga pada saatnya, anak berprestasi dalam bulutangkis!
Renungkan inti ungkapan Plato yang setelah ditulis ulang berbunyi sebagai berikut …
Jangan biarkan dan kondisikan anak-anak belajar dengan paksaan apa lagi dalam kegeraman. Arahkan pembelajaran dengan yang menghibur dan menyenangkan mereka. Kita akan temukan kecenderung kejeniusan masing-masing ketika mereka kasmaran dalam hal yang sedang mereka pelajari!
Ingat …
“Katakpun mendadak tak berdaya jika ujian yang mereka hadapi adalah terbang tinggi di angkasa! Demikian juga burung elang si raja udara, mendadak tak bisa berbuat apa-apa ketika diuji untuk menarik pohon beringin yang tumbang di tengah jalan!”
Realitas. Ketidakpastian merupakan keniscayaan. Mendampingi anak dalam suasana turbulensi, teramat penting memperhatikan kebutuhan emosional mereka. Terutama anak dalam usia sekolah. Tanpa merasakan suasana aman, nyaman dan dipahami, tidak ada strategi pembelajaran yang efektif bagi mereka!
Foto utama oleh Sharon Mccutcheon dari Pexels