Tentu ini tidak fair untuk perempuan yang secara genetik tidak memiliki rambut lurus tersebut. Woke Culture ini pun menciptakan trend baru bagaiman sebuah brand merepresentasikan value mereka. Mulai beragam individu dengan berbagai karakteristiknya menjadi representasi.
Hadirlah jargon beauty in diversity sebagai statement untuk merangkul semua individu untuk percaya diri dalam merepresentasikan diri mereka.
Sayangnya masih ada brand yang melihat ini sekadar sebagai tren marketing. Seolah mereka berpikir bahwa untuk dianggap sebagai brand yang moderen, progresif, dan berpihak haruslah menggunakan metode tersebut. Cuma sekali lagi, hanya dilihat sebagai tren.
Alih-alih mereka benar-benar memakai karakter yang berambut keriting dan berkulit gelap, mereka malah memilih meng-keriting-kan dan menggelapkan kulit si model, yang aslinya tidak, agar sesuai dengan metode tersebut.
Akhirnya, yang seharusnya ini adalah gerakan untuk menggugat standarisasi, mereka malah berlaku menyiasati dan melanggengkan standarisasi tersebut. Dan ini sama sekali tidak etis.
Bahkan kalau dibandingkan dengan film Birth of Nation (1915) karya D.W. Griffith yang secara kurang ajar mengecat kulit aktor-aktor kulit putih menjadi hitam untuk memerankan masyarakat kulit hitam. Film ini pun dijadikan contoh rasisme terstruktur yang terjadi di Amerika Serikat. Dan celakanya pikiran tersebut malah hadir dipikiran pebisnis Indonesia.
Sepatutnya beauty in diversity dilihat sebagai sebuah gagasan dan mental progresif yang dilandasi etik. Bahwa ini bukanlah sekadar jargon marketing, bukan pula tren pop semata.
Ini adalah upaya yang lebih besar untuk menggandeng mereka yang rentan, mereka yang selama ini diposisikan sebagai sub-ordinat, untuk bangkit berdiri tegak menunjukan bahwa setiap dari mereka adalah istimewa dan layak untuk merepresentasikan keindahan.
Foto utama dan ilustrasi dari Burst