Dari sana maka kita pun akan yakin bahwa kita tidak punya hak untuk merenggut hak-hak tersebut sebagaimana kita tidak sudi hak kita untuk direnggut. Masalahnya perempuan lebih sering diposisikan sebagai obyek semata. Obyek yang hidupnya di-tata-kan melalui standar kelayakan kita, bukan kelayakan dari perempuan sebagai subyek.
Selama hal ini masih di-normal-kan, maka kita masih akan merasa bahwa kita berhak memiliki, mengatur, menata suatu obyek. Sehingga kekerasan seksual yang berujung sebagai kasus kejahatan seksual masih akan muncul. Padahal, kejahatan seksual pun bisa terjadi kepada lelaki. Namun, tetap saja pandangan patriarki dengan segala kelayakan versi-nya pun tidak mau menempatkan korban tersebut sebagai subyek.
Sebagai contoh, lelaki yang merasa dilecehkan malah ditertawakan kelelakiannya. Belum lagi kejahatan seksual yang didera oleh kelompok-kelompok rentan lainnya, yang untuk mendapatkan hak hidup wajar saja sangat sulit apalagi ruang aman dari kejahatan seksual.
Foto utama dan ilustrasi dari Burst