Pertama, anak-anak jelas membutuhkan waktu, ruang, dan kesempatan untuk menjadi anak-anak sejati, menjalani kehidupan ala anak-anak umumnya. Dalam tataran ini, jika dikawal terlalu ketat bisa membuat mereka tersumbat. Akibat terlalu mengungkung, besar potensi malah mereka menjadi terkurung. Tetapi, jika dilepas bebas juga malah bablas. Jadi atensi dan komunikasi intens, dari mata dan hati, akan mengajari kita menemukan harmoni baru dalam menjaga keseimbangan relasi dengan anak-anak kita.
Kedua, kita tak kuasa memaksa sehingga membuat anak-anak belajar, selain hanya dapat mengupayakan kondisi yang pas agar pembelajaran mewujud dan nyata. Mereka hanya memiliki pemahaman yang nyata terkait apa yang dipelajari. Itupun hanya terjadi jika yang dihadapi adalah keadaan yang mereka ciptakan sendiri.
Sebagai orang tua, ada bagusnya tidak terlalu sering memberi jawaban untuk diingat, namun fokus pada bagaimana suatu masalah dapat diselesaikan. Bukan memaksa setiap anak harus mendapat “piala.” Jelas tiap anak punya kesempatan mendapatkannya, menjadi juara kelas misalnya.
Ketiga, terlalu banyak mengendalikan, malah menciptakan kecemasan bagi anak-anak. Begitupun bila selalu mengikuti mereka, menjadikan kita yang cemas. Bila anak-anak diliputi emosi besar, tugas kita berbagi ketenangan. Bukan justru bergabung dengan kekacauan yang sedang dan membuat mereka galau.
Dalam kebajikan yang kita miliki, akan ditemukan keseimbangan di antara keduanya. Bagus juga jika mampu memastikan bahwa dalam ikut serta mendidik, kita tidak menghasilkan insan yang taat sampai-sampai memusnahkan jiwa kreatif kuat mereka sebagai anak. Dan, asik juga menghindarkan keadaan ketika kita memberikan nasihat atau solusi instan. Kebiasaan memberi jawaban cepat menghilangkan kesempatan mereka mendapatkan pengalaman yang datang dari pergulatan dengan masalah nyata yang dihadapi.
Keempat, di era kenormalan baru, membaca merupakan keniscayaan. Ditambah dengan kemandirian dalam menjalani hidup juga sekarang menjadi mutlak. Tak ada cara yang lebih hebat dan dahsyat dari pada mengkondisikan kegemaran membaca. Mandiri bukan berarti menjadi sendirian dalam menjalani kehidupan, melainkan mampu meramu dan mengambil keputusan tepat atas apa yang akan dilakukan untuk diri sendiri. Kegemaran dan kegandrungan membaca akan membantu membangun kemandirian sekaligus membentengi diri dari gilasan peradaban.
Kemandirian menebal seiring naiknya minat baca, terlebih di usia sekolah. Menjadikan membaca sebagai kebutuhan mendalam dan berkelanjutan sebagai syarat mutlak berinteraksi di abad ini. Membaca, jelas baik bagi tumbuh kembang anak. Jika keadaan ini dapat diupayakan, kita belajar dari anak bagaimana mampu berbahagia tanpa alasan (self-determined), selalu asik atas apa yang dikerjakan (joyful) dan mengetahui bagaimana mendapatkan dengan sekuat tenaga atas apa yang diinginkan (agile).
Kembali ke tema. Apa iya kita mampu dan tepat mengikhlaskan anak-anak menulis skenario masing-masing sekaligus menjadi sutradara dan aktor atas hidup mereka? Perhatikan beberapa fenomena berikut, sebagai dasar memiliki pemahaman menjawab renungan tersebut.
Satu. Umumnya, anak-anak tidak cakap mendengarkan perkataan orang tuanya, tetapi sangat handal dalam meniru kebiasaan orang tua. Jadi kita wajib waspada. Ingat, pendidikan adalah kesempatan sekali seumur hidup guna membuka hati dan pikiran anak-anak terhadap keajaiban alam semesta yang luar biasa.
Dua. Belajar bisa jadi diawali dengan kesalahan bahkan kegagalan. Percaya bahwa kesalahan atau kegagalan pertama adalah awal dari pendidikan. Melihat kesalahan atau kegagalan dengan baik, mengalami kegalauan lalu mendapat pelajaran untuk terus belajar merupakan pilar belajar sesungguhnya. Menjadi relevan dengan ucapan Gandhi: “Tidak ada sekolah yang setara dengan rumah yang harmonis. Tak ada pula guru yang setara dengan orang tua yang berbudi luhur!”