Berkomunikasi dengan Bayi dalam Kandungan

Konon membuat masa kehamilan jadi lebih tenang dijalani, santai dan makin happy. Mitos atau fakta?

Saya kehilangan anak pertama, sebelum lagi dia lahir. Pada usia kehamilan memasuki bulan keempat, air ketuban pecah tanpa tanda-tanda sebelumnya. Terjadi begitu saja pada saat sedang berbaring. Rasanya tak usah membahas kenapa bayi saya pergi, supaya tidak menguak luka lama. Lebih baik berkisah bagaimana saya belajar setelah itu dalam kehamilan berikut. 

Jelas ada trauma mendalam memasuki kehamilan anak kedua, sebab kepergian anak pertama pun tanpa isyarat. Katakanlah misalnya, saya terjatuh, terlalu sibuk, salah makan, ada penyakit atau apapun penyebab yang bisa membuat janin terganggu. Sama sekali tidak ada. 

Saya ibu rumah tangga biasa, beraktivitas di rumah juga sangat menjaga kehamilan apalagi anak pertama. Bisa dibayangkan penjagaannya pasti seketat apa dan persiapan sambutan kelahiran juga penuh kegembiraan. Ternyata beda persiapan dan kenyataan.   

Setahun berlalu, akhirnya diberi kesempatan kedua, namun diiringi sedikit trauma dan rasa takut kehilangan lagi tanpa sebab seperti sebelumnya. Demi menghindari tragedi serupa, dalam beraktivitas sehari-hari jadi tambah ekstra hati-hati lagi supaya janin aman dalam kandungan hingga tiba saat bertemu nanti. Begitu pikir saya. 

Ternyata, segala kehati-hatian ekstra dan pembatasan pergerakan secara berlebihan ternyata membuat otot-otot sekeliling panggul, pinggang dan sekitarnya sebagaimana disampaikan dokter kandungan tempat saya rutin periksa dan konsultasi jadi ‘tertidur’ akibat jarang digerakkan. Tidak ingat istilah ilmiahnya, tapi semacam itulah yang tertangkap dalam pengertian saya. 

Sebagai ibu hamil, anak kedua setelah kehilangan anak pertama tentu saja sedih dan bingung. Mulai bertanya-tanya, kebanyakan gerak berbahaya, terlalu menjaga dengan mengurangi aktivitas belum tentu sebagai pilihan baik, bergerak biasa-biasa saja juga bayi pertama saya pergi. Lalu bagaimana?  

Benar saja, kehamilan anak kedua ini ternyata tidak lebih mudah dari sebelumnya. Morning sickness mewarnai pertumbuhan janin di awal. Dalam kesedihan ditambah ketakutan kehilangan lagi, entah apa yang terpikir saat itu, tiba-tiba muncul ide mencoba mengajak janin dalam kandungan ini berkomunikasi. Sambil membelai, mulai membujuknya mengajak kerja sama. 

Semula ada rasa canggung, geli sendiri kok seperti merasa sedikit kurang waras ya ngomong sendiri. Tapi saya menetapkan hati serta menegaskan pada diri kalau itu sedang berdialog dengan seseorang dalam rahim. Ada teman bicaranya, bukan sendiri.

Mulai dengan menyapa: “Hallo baby, apa kabar? Bagaimana hari ini?” Selanjutnya mulai  menceritakan hal-hal indah kalau nanti bertemu saya, ayahnya, saudara-saudara dan teman-teman lain. Begitu terus setiap ada kesempatan selalu membisikkan kata-kata manis. Di akhir obrolan tak lupa menegaskan betapa saya sangat menantikan kehadirannya. 

Parents Guide
Parents Guidehttp://www.burhanabe.com
Info seputar parenting, mulai dari kehamilan, tumbuh kembang bayi dan anak, serta hubungan suami istri, ditujukan untuk pasangan muda.

Related Posts

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Stay Connected

0FansLike
400FollowersFollow
8,385FollowersFollow

Recent Stories