Sesungguhnya matematika bukanlah sekadar deret angka yang diotaki-atik. Tapi rumus matematika dihadirkan dari sebuah logika, yang melandasi logika yang lain. Matematika adalah pola-pola yang semakin intens kita selami dan kita akan melihat suatu struktur dan situasi yang teratur. Sehingga andai kita terbiasa berpikir matematis ini, maka kita akan terbiasa mampu membaca pola-pola yang ada di depan mata kita. Lalu hipotesis kita akan hadir dalam merespon itu melalui struktur yang utuh dan solid. Mutlak kita tidak akan reaktif dan kagetan dalam mendapati suatu fenomena.
Seni yang konon cair dan tidak saklek, seolah berlawanan dengan matematika yang mutlak, bahkan dibangun dengan hitungan-hitungan matematika. Mahakarya seni pun menyimpan rumus-rumus matematika yang menjadikannya sebagai sebuah mahakarya.
Golden Ratio yang jamak di karya-karya maestro Leonardo Da Vinci adalah rumus matematika yang disebut (pi) dengan decimal 1.618. Golden Ratio ini menjadi komposisi yang presisi dalam sebuah karya seni. Komposisi musik karya Mozart pun memiliki ketukan, tempo, dan notasi yang terkait erat dengan hitungan matematis.
Film pun menggunakan “rumus suci” 24 frame per detik untuk bisa menciptakan ilusi optik gambar gerak, tentu ini matematika! Maka matematika adalah fundamen kehidupan kita, dan itu adalah pondasi yang membangun keindahan.
Maka ditengah carut-marut masyarakat media sosial kita ini, sepertinya mempelajari matematika adalah tawaran progresif untuk mengurai permasalahan dan setidaknya memproteksi diri kita dari arus sosial yang tidak beraturan ini.
Karena ketidak-teraturan ini tercipta pola keteraturan dan keteraturan sendiri adalah ketidak-teraturan yang teratur. Wah! Ini pun adalah dalil matematika. Jadi, sudah ketemu perbedaan 3×4 dan 4×3?
Foto utama oleh Katerina Holmes dari Pexels
