“Mulai dari mengurus persiapan sampai tiba waktu kelahiran, kemudian menjaga sampai mengurusi, aku dan Kim cuma berdua. Sebagai ayah baru kan kaget juga mengurus dua anak yang waktu lahirnya berdekatan. Cuma beda setahun,” kenang Edward.
Merasa belum terlalu berpengalaman sebagai ayah ini pula membuatnya kadang kuatir kalau anak sakit. Atau semisal terjatuh, yang sesungguhnya bisa saja terjadi pada anak-anak, pasti dia terus memikirkan apa gerangan dirasakan anak itu. Apakah mereka akan baik-baik saja? Lagi-lagi beruntunglah, karena pasangan ini bisa membangun team yang solid, kekuatiran serupa akhirnya bisa diminimalkan.
Berkaca pada perjalanan hidup serta pengalaman batin yang dilalui bukanlah sesuatu yang indah, Edward bertekad lebih sungguh membina keluarga kecilnya. “Aku sendiri anak broken home, sejak usia 3 tahun tumbuh sebagai anak tunggal dengan perjuangan tidak mudah. Ini salah satunya yang bikin aku ingin Rayden punya saudara kandung biar bisa saling berbagi. Dan itu terjadi!” ungkapnya penuh syukur.
Karena tak punya sebuah model keluarga harmonis dalam kehidupan masa kecil, Edward justru banyak belajar nilai-nilai hidup dari mengamati keseharian di sekeliling. Seperti apa buah dari perbuatan baik dan berakibat bagaimana perbuatan buruk. Lalu memilah-milah untuk dijadikan pedoman berkeluarga.
Acuan paling mendasar baginya adalah ajaran agama dalam mendidik anak menjadi manusia seutuhnya. Soal nanti harus jadi sarjana, dokter atau kepintaran apapun, itu poin kesekian sebab paling utama adalah iman dan ketakwaan.
Fondasi ini dibangun bersama secara bersinergi. Meski sebagai ayah selalu dituntut menjadi pribadi tangguh, Edward setulusnya tetap mengakui ketangguhan seorang ibu dalam urusan anak adalah luar biasa.
Anak adalah titipan Tuhan, harus diasuh penuh cinta kasih, kejujuran, ketulusan juga ketegasan. Bukan galak dan serba tidak boleh seperti didikan jaman dulu. Boleh saja ada larangan bila memang tidak sesuai, namun dijelaskan tetap dengan kasih sayang. Cinta harus selalu dirajut. Begitu kata Edward Akbar, bukan sekedar untuk menutup pembicaraan, tapi juga menjalani ucapan ini penuh konsekuensi. Ayah sejati! (IS)