Aku pikir perang tinggal sejarah
Yang tanggal-tanggalnya harus kuhafalkan
Agar nilai ujian sejarah tidak merah
Sekarang kusaksikan dengan kesedihan tertahan
Sebab perang telah pecah
Sejak pandemi menjelang dan perubahan global menerjang tanpa pernah memberi aba-aba sebelum datang, aku terus berusaha ikut dalam perubahan. Tidak sekedar menonton, terus ambil bagian sambil berupaya beradaptasi agar tidak tergilas perubahan itu sendiri. Kulatih diriku tetap waras meski cemas.
Entah berapa macam sudah kata baru mendadak mencuat ke ruang pergaulan yang sebelumnya belum pernah kutahu, jadi begitu jamak terdengar. Dulu aku hanya tahu kena bola, kena marah, kena tendang. Itu semua sudah terasa sakit. Sekarang muncul pula istilah kena mental yang ternyata teramat sakit bahkan penyebarannya bagai gurita menggapai segala jaringan sel tubuh.
Sekarang genderang perang ditabuh. Masih kah aku waras? Cemas iya pastinya!
Aku tak paham politik, tapi sempat mencari penyebab peperangan dua kubu yang sesungguhnya dulu bersama. Kutemukan beberapa tulisan, tapi tak satupun membuatku menduga bahwa perang, akan, harus, telah terjadi.
Mendefenisikan pun tak kuasa karena itu tadi! Sudah ‘kena mental’, di tengah para penguasa mengatur strategi perang, ilmuwan menganalisa dampak segala persenjataan, tokoh dari berbagai kalangan bersiap mengantisipasi situasi dunia. Tak ketinggalan para ekonom menyajikan prediksi perdagangan internasional.
Semua mengkuatirkan dan ironisnya, di tengah suasana genting begini, Indonesia nggak kalah repot dengan kelangkaan minyak tanah, perebutan warisan dan hak perwalian cucu, hujat menghujat di sosial media, investasi bodong hingga parade crazy rich. yang bikin aku sebagai rakyat jadi crazy sungguhan tapi nggak rich juga. Jeetje Minetje!