Oleh: Mahesa Desaga – Penulis & Sutradara Film
Seperti sudah menjadi keseharian ketika kita sering mendapati pemberitaan di sosial media maupun media mainstream yang menunjukan berbagai macam permasalahan di Indonesia di berbagai bidang. Mulai dari permasalahan sosial-politik yang carut-marut, kerusakan lingkungan, sampai kasus kejahatan seksual yang seolah tanpa solusi.
Menurut saya seluruh permasalahan tersebut bermuara pada persoalan pendidikan. Tidak berlebihan apabila menyebut bahwa pendidikan yang rendah menghasilkan seluruh permasalahan tersebut.
Berdasarkan survei dari Program for International Student Assessment (PISA) yang di rilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, peringkat literasi Indonesia masih sangatlah rendah, urutan 62 dari 70 negara. Hal ini tentu perlu dianggap sebagai sebuah krisis, mengingat Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar nomor 4 di dunia.
Bahkan mengenai bagaimana masyarakat menggunakan sosial-media menunjukan betapa rendahnya pendidikan. Celakanya banyak pihak, khususnya generasi tua, malah menyalahkan kehadiran sosial-media sebagai sumber permasalahan tersebut. Padahal sosial-media, dan tentu teknologi secara umum, adalah semata media amplifikasi dari tiap individu dan kelompok.
Dengan fundamen pendidikan yang solid maka apa yang di-amplifikasi-kan tentu perihal teratur-nya logika, luasnya wawasan, dan dalamnya filosofi. Namun ketika masyarakat yang miskin literasi, dan bahkan, iliterasi maka bisa kita bayangkan apa yang akan di-amplifikasi-kan melalui sosial media tersebut.
Sebetulnya, apabila kita menyusuri jauh kebelakang ketika Republik ini baru dilahirkan, kita dihadapkan jalan nasib yang menurut saya menghasilkan kondisi hari ini. Pasca Perang Kemerdekaan, Republik Indonesia resmi berdaulat penuh, para pemimpin bangsa merasa perlu untuk membangun bangsa ini melalui ideologi.
Sudah barang tentu para pembangun bangsa ini adalah para ideolog, pemikir, aktivis yang sangat cerdas. Disinilah, Bangsa Indonesia seperti dihadapkan pada persimpangan jalan. 2 Jalan bercabang yang akan menentukan kondisi bangsa sampai hari ini.
Sang Proklamator, Soekarno dan Hatta mempunyai tawaran yang berbeda untuk membangun bangsa ini. Soekarno merasa, Indonesia sebagai negara baru dengan segala kekayaan potensi-nya, harus mampu berdiri menentukan sendiri nasib-nya.
Baca juga: Matematika Adalah Keindahan Paling Fundamental
Oleh karenanya agar bangsa lain tidak memandang sepele bangsa Indonesia, maka wajah Indonesia harus bersolek. Harus ditunjukan bahwa wajah Indonesia tidak kalah dengan kemajuan negara-negara Nekolim. Maka Soekarno menawarkan pembangunan fisik terlebih dahulu. Segala infrastruktur harus dibangun, diperindah, diperkuat. Agar Indonesia memang dilihat tangguh dan independent tanpa perlu meminta “bantuan” negara-negara Kapitalis tersebut.
Sedangkan Hatta merasa pembangunan itu harus dimulai dengan pembangunan non-infrastruktur. Membangun mental, wawasan sehingga ide dan gagasan progresif akan hadir di kepala setiap anak yang berada di seluruh tanah Indonesia.
Caranya tentu melalui pendidikan. Hatta bercita-cita fasilitas pendidikan dan ahli-ahli pendidik akan hadir dari Ibukota sampai desa-desa terkecil. Literasi-literasi dan kurikulum terbaik dapat dengan mudah diakses oleh setiap anak bangsa melalui pendidikan yang menjadi mandat. Bisa jadi pengaplikasiannya adalah dengan pendidikan gratis.