Karena bagi Hatta kecerdasaan bangsa inilah yang akan membawa bangsa ini mewujudkan cita-cita untuk berdikari, dan menjadi sebuah bangsa masa depan (Nation of Tomorrow). Melalui masyarakat yang cerdas, maka pembangunan fisik adalah sebuah keniscayaan.
Seperti yang kita tahu, Soekarno-way yang kita pilih. Indonesia pun bersolek. Jalan raya dibangun, monumen-monumen didirikan, sampai Stadion di Senayan yang kala itu menjadi stadion terbesar se-Asia pun berdiri megah.
Wajah rupawan Indonesia ini pun menarik perhatian banyak bangsa.
Bangsa-bangsa Asia-Afrika yang merdeka pasca Perang Dunia II pun melihat Indonesia sebagai pioner dan lokomotif. Pembangunan fisik ini pun semakin digiatkan ketika era Orde Baru memimpin. Gedung-gedung pencakar langit dan area-area bisnis dibangun pesat di era ini.
Namun, ketika Orde Baru jatuh, kita melihat bopeng dari pembangunan fisik ini. Pembangunan pesat tersebut hanya berpusat di Ibu Kota, lebih luas lagi hanya di Pulau Jawa. Wilayah di luar Jawa pun masih jauh tersentuh pembangunan tersebut.
Lebih kelam lagi, pembangunan mental melalui infrastruktur dan literatur pendidikan masih sulit diakses bagi mereka. Celaka-nya lubang fakta ini pun tidak segera ditutup. Pemerintah masih memilih membangun jalan tol dan jembatan ketimbang melakukan pemerataan pendidikan.
Zaman yang berubah melalui teknologi digital, atau yang keren disebut Revolusi Industri 4.0, tentu menghasilkan generasi yang gamang. Karena sesuai dengan perkembangannya, teknologi tentu dibarengi dengan perkembangan manusia. Manusia yang sudah punya pijakan kuat dalam berlogika, sehingga mampu mengembangkan wawasannya untuk menunggangi larinya teknologi ini. Tentu melalui pendidikan.
Indonesia yang tentu terlewat merasakan Industri 2.0 dan 3.0, karena ketimpangan pembangunan tadi, maka ketika bertatap-muka dengan Revolusi Industri 4.0, sudah tentu terjadi keruwetan. Fundamental Sosial-Politik yang lemah, menghasilkan kebijakan yang tidak tepat guna. Kemiskinan yang dipelihara, hanya seolah selesai dengan mendistribusikan bansos yang nilai-nya tidak seberapa itu. Karena memang kita berdiri di kaki sendiri, namun kaki tersebut kaki yang kopong dan rapuh.
Kini kita berandai-andai, kalau saja dulu kita memilih Hatta-way. Bisa saja kita menjadi negara produsen teknologi yang mumpuni, karena teknokrat macam Habibie ada bersama ribuan Habibie-Habibie yang lain. Mungkin saja, figur seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berjalan beserta Gus Dur-Gus Dur lain menabur humanisme dan gagasan-gagasan progresif.
Ya apapun hasilnya, bisa saja lebih baik tapi juga tidak menutup kemungkinan lebih buruk, yang jelas nasib bangsa Indonesia berbeda total dengan hari ini.
Foto utama oleh Rizky Rahmat Hidayat dari Unsplash