Sebagai ilustrasi, anggap bakteri Pertusis adalah manusia, yang memiliki anggota tubuh seperti kaki dan tangan. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa tangan misalnya, merupakan bagian tubuh kuman tersebut yang menyebabkan demam. Menggunakan teknologi yang canggih, bagian itu kemudian dilepas dengan harapan bayi tidak lagi harus mengalami demam pasca DPT.
Demikian harapan idealnya.
Sayangnya, kenyataan di lapangan tidak selalu seperti yang diharapkan.
Menurut para pakar peneliti, didapatkan bahwa masih ada sekitar 10% bayi yang masih mengalami demam setelah disuntik DPT.
Hal ini harus disampaikan oleh dokter kepada orang tua sebelum bayinya disuntik. Karena bila tidak maka akan banyak orang tua yang berpikiran dokternya menipu atau tidak memberikan jenis vaksin yang sesuai dengan yang diminta.
Sangat pantas orang tua mempunyai pemikiran seperti itu karena mereka harus merogoh kocek yang tidak sedikit untuk mendapatkan jenis vaksin DPT yang tidak menyebabkan demam ini, yang harganya bisa beberapa kali lipat dibanding vaksin DPT biasa, mengingat ada investasi canggih dibalik pembuatannya dan negara kita masih mengimpornya dari luar negeri. Indonesia, melalui Biofarma, baru-baru ini saja bisa memproduksi vaksin DPT yang menyebabkan demam.
Informasi yang selalu saya sampaikan kepada orang tua adalah,
“Sekalipun ibu tahu bahwa vaksin yang digunakan adalah vaksin DPT yang katanya bisa tidak menyebabkan demam, saya harus katakan bahwa 10% anak masih bisa demam. Apakah bayi ibu termasuk yang 10%, saya tidak tahu. Bila ternyata nanti setelah disuntik bayi ibu demam, berarti bayi ibu termasuk yang 10% itu. Imunisai berikutnya, ibu bisa gunakan vaksin DPT yang biasa, yang dapat menimbulkan demam”.