Oleh: Mahesa Desaga – Penulis & Sutradara Film
Selamat Hari Film Nasional 2022, semoga film Indonesia semakin tambah bagus dan jadi kebanggaan keluarga.
Film Indonesia dengan berbagai macam perkembangan dan kemajuannya memunculkan harapan tentang kembalinya masa emas perfilman Indonesia seperti yang pernah mencapai puncaknya pada era 70-80-an.
Perkembangan tersebut menghadirkan berbagai macam eksplorasi tema cerita beserta berbagai bentuk penceritaannya. Beragamnya bentuk tersebut diharapkan semakin memberikan tawaran ide maupun perspekti yang beragam kepada publik.
Baca juga: Ira Wibowo, Berguru dari Film Tanpa Merasa Digurui
Namun, segala macam kemajuan itu selalu dibenturkan dengan kehadiran istilah Sensor. Sensor selalu dianggap sebagai musuh kebebasan kreatifitas. Lembaga Sensor Film (LSF) sebagai lembaga yang, konon, memiliki wewenang untuk menjatuhkan vonis sensor kepada setiap film yang akan beredar tentu menjadi penghalang bagi munculnya eksplorasi dalam karya film.
Apalagi sudah menjadi kewajiban bagi setiap film untuk mengantungi Surat Keterangan Lulus Sensor agar bisa ditayangkan secara luas.
Kritik terhadap LSF pun hadir, ketika personel di dalam LSF dianggap bukanlah orang yang capable dalam menentukan layak atau tidak-nya suatu adegan dalam film itu lulus untuk ditayangkan. Klasifikasi usia penonton yang diperjuangkan sebagai filter terhadap tontonan yang sesuai pun masih sering berbenturan dengan kebijakan bioskop yang perlu mengeruk penonton sebanyak mungkin.
Baca juga: Nyanyian Anak: Indie Movie di Layar Lebar
LSF sendiri dari awal berdiri sebetulnya difungsikan sebagai kontrol ideologi politik dari pemerintah. Mulai bernama Commissie voor de Kuering ( Komisi Pemeriksa Film), lalu dibubarkan dan sensor dipegang oleh Dinas Propaganda Tentara Pendudukan Jepang, Sendenbu Eiga Haikyusha, lalu menjadi Panitia Pengawas Film (PPF), lalu menjadi Badan Sensor Film (BSF), sampai menjadi LSF.
Pada era Pemerintahan Orde Lama, Sensor Film digunakan untuk memastikan film-film Indonesia harus membawa semangat Revolusi dan menolak film yang dianggap Anti-Revolusi maupun Anti-Soekarno. Ketika era Orde Baru, sensor film ditujukan untuk menolak film-film yang dianggap membawa ide-ide maupun faham Komunisme dan Ekstrimisme yang dianggap mengganggu stabilitas Nasional, hal ini jamak disebut dengan istilah anti-Pancasila.
Dalam 2 Era tersebut, jelas Sensor dihadirkan untuk membentuk ideologi penonton yang sesuai dengan agenda politik Pemerintah.