Oleh: Ita Sembiring
Kerap orangtua cemas akan masa depan anak.
Lalu dengan segala daya upaya mempersiapkan masa depan terbaik bagi anaknya, hingga tak lagi mengingat harus melakukan apa di masa kini.
Ironis ya. Berdalih ikatan cinta melimpah, orangtua pasti mempersiapkan segala sesuatu menyongsong masa depan anak. Padahal tanpa sadar saat tekun merajut masa depan gemilang itu, seringkali justru mengorbankan kehidupan di masa kini yang seharusnya dinikmati kanak-kanak.
Betapa suatu hari kelak saat mereka mendapatkan kehidupan berjaya, namun lupa bahwa pernah kecil. Sebab tidak punya kisah masa kanak-kanak yang indah untuk diceritakan. Memori penuh dengan kerja keras demi sebuah pencapaian.
Menilik situasi semacam ini, tentunya bukan cerita hidup anak saja bakal tergerus. Begitupun orangtua, turut kehilangan momen intim bersama anak. Lelah mencetak anak-anak sebagai seseorang sebagaimana diinginkan orangtua.
Baca juga: Cegah Stunting, Dokter Anak Ajak Orangtua Baca Buku KIA
Ketika sudah tercetak, tinggal kelelahan tersisa tanpa pernah mengenal lebih dalam seperti apa sesungguhnya anak-anak itu. Ditambah cerita pilu, bahwa ternyata bukan ‘cetakan’ begitu yang diinginkan si anak, tapi menurut saja demi kepatuhan karena orangtua punya kuasa. Apa boleh buat semua sudah tercetak.
Barulah kita menyadari benar sekali ucapan Dr. Jess Lair, Professor di Montana State University, katanya: “Anak-anak bukanlah hal yang harus dibentuk, tetapi orang-orang yang harus dibuka. Sederhana saja ungkapan penulis yang meninggal akibat serangan jantung di usia 73 tahun di Bozeman ini, tapi lumayan menohok.
Memang begini kerap terjadi. Atas dalih memberikan yang terbaik, dalam mengasuh pun demi ambisi sehingga lebih sering bukan kalimat positif pendukung digunakan, tapi orangtua malah misuh-misuh.
Dalam bahasa Jawa kata misuh bisa diterjemahkan sebagai kata-kata kasar.
Mungkin orangtua tidak bermaksud kasar, namun akibat tuntutan tinggi dibebankan pada anak, dan khawatir tidak tercapai maka orangtua bertindak otoriter. Tegas, kaku, memaksa dan tentu saja misuh-misuh demi capaian target kurikulum berstandard orangtua. (bukan kompetensi, ups!)
Baca juga: Musik dan Si Kecil
Ijinkan aku berbagi tanpa bermaksud menggurui. Barangkali sebagai sesama orangtua, beberapa pemahaman yang coba aku pahami ini bisa diterapkan bersama parennial.
Awal kelahiran anak pertama, setelah mengandung nyaris mendekati 10 bulan, aku merasa memiliki anak itu sepenuhnya. Tumbuh dan terbentuk dalam tubuhku. Jadi ketika hadir, selain menyambut suka cita, sekaligus mengklaim sebagai pemilik juga penguasa jiwanya. Padahal anak adalah pemberian Tuhan, hadiah indah yang dititipkan.