Oleh Farah Djalal, PhD.
Tanggal 21 April kerap diperingati sebagai hari Kartini, hari kelahiran tokoh inspiratif yang penting bagi seluruh perempuan Indonesia, Raden Adjeng Kartini.
Seperti yang kita pelajari dalam kelas sejarah, bahwa Kartini dalam hidupnya memperjuangkan persamaan hak perempuan, termasuk di dalamnya hak untuk kebebasan mendapatkan pendidikan bagi perempuan pribumi-nusantara di eranya. Kartini mencoba mengubah kondisi perempuan pribumi yang terkurung oleh adat, tidak bisa bebas mengenyam Pendidikan dan harus menikah dengan lelaki yang dijodohkan.
Dalam surat-suratnya, pemikiran Kartini berhasil mengubah pandangan masyarakat mengenai perempuan dan menginspirasi banyak tokoh lainya sehingga kehidupan perempuan Indonesia menjadi setara. Tapi apakah kondisi perempuan Indonesia saat ini sudah sesuai dengan yang dicita-citakan Kartini?
Peran Gender dan Beban Ganda
Hal utama yang diperjuangkan Kartini adalah kesetaraan gender, yaitu suatu kondisi yang seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam hal pemenuhan hak dan kewajiban tanpa adanya diskriminasi. Namun demikian, hak dan kewajiban inilah yang sering kali dikaitkan dengan peran gender, peran antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat terkait dengan norma dan nilai sosial budaya masyarakat yang bersangkutan (Iriyanto & Winaryati, 2010).
Dalam masyarakat Indonesia, biasanya peran seorang laki-laki akan dikaitkan dengan martabat, perlindungan, dan harapan keluarga bagi masa depan, sedangkan perempuan dengan kepraktisan yang dikaitkan dengan berbagai urusan rumah tangga.
Di era modern seperti saat ini, peran perempuan masih sering kali menjadi polemik, antara meniti karir dan berumah tangga. Meskipun sudah banyak perempuan yang membuktikan mampu menjalani keduanya, kesempatan mereka untuk memiliki jenjang karir yang setara laki-laki masih terbatas, baik dalam posisi manajerial (Castilla, 2008), pendapatan (Dang & Nguyen, 2021), ataupun karir akademik (Ledin, Bornmann, Gannon, & Wallon, 2007).
Hal ini dikaitkan dengan ekspektasi yang ada di masyarakat tentang pemenuhan peran yang sesuai. Jika pun ada perempuan yang berhasil merintis karirnya hingga jenjang yang tinggi, tuntutan yang ada di masyarakat kerap kali mengancam kesehatan mental mereka.
Dalam budaya Indonesia, perempuan yang memiliki jenjang pendidikan yang tinggi tetap dinilai lebih baik jika tetap berfokus pada keluarga dan rumah tangganya, dibandingkan memanfaatkan keahlian dari hasil pendidikan tingginya (Prastiwi & Rahmadanik, 2020). Keberhasilan seorang perempuan Indonesia masih dinilai dari ketercapaiannya untuk membangun rumah tangga dan melahirkan turunan. Ini pun menjadi beban ganda yang harus diampu perempuan, merintis karir dan mengurus rumah. Apakah ini yang dicita-citakan oleh Kartini untuk perempuan Indonesia?