“Bosan berinteraksi dengan orang dewasa. Ingin mencari anak-anak sebagai teman ngobrol. Tidak rumit, natural dan belum banyak ‘warna’. Orang dewasa sudah ada gambar masing-masing. Tidak mudah kalau mau menambahkan gambar lain,” ungkap Mardi Santoso jujur.
Berbeda dengan dua rekan Guru tadi, tidak ada yang meminta apalagi memaksanya jadi Guru di wilayah Pekan Baru. Murni keinginan pribadi dan menemukan lentera jiwa saat berbagi ilmu di hadapan siswa hingga bertekad tetap menekuni profesi ini hingga pensiun.
Meski merasa terpanggil, sebagai manusia biasa, Guru yang pernah diceburkan ke kolam saat ulang tahun oleh para siswanya juga punya rasa marah. Selalu menghukum keras bila siswa tidak disiplin.
“Untunglah walau anak-anak dihukum, tetap dekat dengan saya. Barangkali sesungguhnya paham itu dilakukan karena ingin mereka menjadi pribadi lebih baik. Tapi saya akhirnya sadar, tidak perlu juga menyakiti ataupun menyinggung perasaan siswa, supaya tujuan pembelajaran tercapai,” tuturnya.
Masih bertolak dari sebuah kejenuhan, Sujoni seorang dokter hewan lulusan Universitas Airlangga akhirnya memilih menjadi Guru di Banjarmasin. Mengampu mata pelajaran seputar kesehatan hewan di SMKN Pertanian Pembangunan Banjarmasin.
Bukan karena merasa terpanggil apalagi sebagai pilihan, namun akibat kejenuhan pada kebijakan manajemen tempatnya bekerja. Sempat pindah ke perusahaan ayam, memeriksa kesehatan ayam-ayam sebelum diolah.
“Kebetulan terbuka lowongan CPNS menjadi guru. Demi mencari suasana baru, keluar dari situasi menjemukan terkait manajerial, saya melamar dan diterima,” urai Sujoni.
Namanya terpaksa, tahun pertama penuh gerundel. Memasuki tahun berikut, keterpaksaan akibat tak ada pilihan tadi, berganti juga menjadi panggilan menyenangkan. Hingga kini sudah memasuki tahun ke-17.
Mencerahkan
selamat hari pendidikan nasional
semoga pendidikan dan guru-guru kita maju terus