Indonesia sendiri dalam hal ini memiliki pedoman yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/73/2015. Pada Bagian II. A. 3. Kriteria Diagnosis, tercantum acuan yang digunakan adalah ICD-X dan PPDGJ III, di mana PPDGJ adalah singkatan dari Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia yang diterbitkan oleh Depkes RI tahun 1985.
ICD memiliki cakupan yang lebih luas ketimbang DSM, di mana termasuk juga di dalamnya kesehatan secara umum (jasmasni). Hanya Bab V dari ICD yang secara spesifik membahas kesehatan mental. Diagnosa yang menggunakan ICD juga lebih bersifat kualitatif dan bergantung pada penilaian tenaga kesehatan terkait yang menanganinya sesuai konteks masing-masing kasus, ketimbang DSM yang memiliki daftar gejala-gejala apa saja yang harus ada sebelum seseorang dapat dikatakan menderita suatu kelainan. Contohnya, seseorang harus paling tidak memenuhi 5 dari minimum 9 gejala dari satu penyakit selama kurun waktu tertentu sebelum dapat dikatakan ia menderita gangguan penyakit tersebut.
Baca juga: “Sharing is Caring” – 6 Tips Ajak Si Kecil Berbagi
Perkembangan kesehatan mental yang baik tak lepas dari kesadaran kita bahwa anak adalah juga individu yang punya perasaan, baik positif maupun negatif. Ia juga punya keinginan, baik yang baik maupun buruk bagi dirinya. Juga pendapat yang bisa saja tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Tidak jarang ketika sudah besar malah berani memprotes atau bahkan mengkritisi orang tuanya.
Sebagai orang tua kita hanya dapat membantu mengarahkan sambil menjaga agar si kecil memiliki ruang cukup untuk mengeksplorasi sendiri pikiran dan perasaannya sementara memastikan kita siap menolong atau membantu mencari pertolongan ketika dibutuhkan. Untuk dapat melakukan hal ini kita harus jeli dan melepaskan diri dari berbagai stigma tentang kesehatan mental dan mulai mengadopsi pendekatan yang berorientasi pada hasil dan fakta medis ketimbang anggapan-anggapan populer tetapi tanpa dasar di sekitar kita.