Lahir, besar dan bergaul di Medan sampai SMA, sudah akrab betul di telingaku ungkapan berdialek kental semacam ini: “Alamaak! Ngeri-ngeri sedap awak dibikin kawan inilah!”
*
Pas! Itulah ekspresi natural khas Medan merespon sebuah peristiwa selain kalimat penuh kata ‘apa’ dan gini atau gitu. Semacam ini: “Kau apakan dulu apa ini biar nggak apa kali kalau sudah jadi apa gitu. Biar kek gini pula yang gitu itu setelah diapakannya nanti. Jadi semua apa ini cocok sama yang gini. Gak gitu apa kalilah hasilnya.”
Sebagian beranggapan ini kalimat kusut dan rumit. Tapi justru di telingaku merupakan salah satu ‘keajaiban’ kata di Medan. Bagaimana tidak, bermodalkan 3 kata simpel, apa, gini, gitu sebuah pesan padat tersampaikan. Dimengerti pula! Seru kan..! Tampak rumit, padahal sesungguhnya sederhana.
Begitupun film Ngeri Ngeri Sedap. Konflik yang diangkat dengan latar keluarga Batak ini tampak rumit. Padahal sesungguhnya dari sebuah kesederhanaan cara berpikir turun temurun.
Inilah karya terbaru sutradara dan penulis muda Bene Dion Rajagukguk yang mengawali karir sebagai stand up comedian. Ssssttt.…., tapi ternyata kurang lucu, sebab kecerdasannya lebih tinggi dari kelucuannya. *menurut aku yaa! (Terbukti kan, lebih sukses sebagai penulis dan sutradara)
Sebagai orang Batak (Karo) juga, aku menghadiri Gala Premier film ini. Menyimak dengan adukan beragam rasa. Mulai dari lucu tipis-tipis polah para komika pendukung, yang bagiku, mereka belum berdialog saja sudah sangat menghibur.