Ditingkahi celetukan natural, hingga menyusup gelitikan ironi di tengah rasa haru dari tiap konflik yang terbangun. Dan tentu saja, tontonan ini semakin lengkap dengan sajian gambar pesona tanah Toba.
Film ini memang mengharukan. Sebagaimana diungkap beberapa penonton yang sesenggukan terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Juga unggahan rasa haru di akun-akun sosial media.
Termasuk testimoni langsung pemeran Pendeta, Paulus Simangunsong di mobil saat bareng menuju bioskop. Alumni teater Koma ini menuturkan sudah nonton berkali-kali pun, termasuk saat menyelaraskan terjemahan beberapa bahasa Batak yang harus dilakukan berulang, sebanyak itu pula dia menangis.
Jelas, akupun terharu selama nonton. Tapi jujur tak sampai menitikkan air mata. Bahkan lebih banyak terhibur dari terharunya.
Kok Bisa?
Sungguh ada rasa terhibur! Bukan supaya terlihat berbeda dari pendapat kebanyakan. Tapi begitulah adanya. Sebab hematku, betapa perasaan banyak orang soal adat, budaya, nilai seturut jaman masing-masing lalu dicoba menyelaraskan dalam kekinian yang orang modern sebut Digital Era semacam terwakilkan.
Aw..aw…aw! Bukankah sangat menghibur ketika banyak kegelisahan kita tersampaikan? Lewat karyanya, Bene manis sekali menyampaikan serentetan konflik keluarga Domu.
Seseorang tak kukenal berkomentar di luar bioskop, “Begitu ya ternyata di keluarga Batak. Kasihan juga kalau terpaksa menuruti semua nilai, adat dan kultur. Hidup seperti masuk kotak. Melawan orangtua demi memperjuangkan cita-cita bakal menyedihkan. Mematuhi orangtua makin meranalah, gagal mengejar impian pribadi.”
Ups! Memang Ngeri-ngeri sedap juga kalau begini.