BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) selama ini telah menyediakan beragam Alokon (alat dan obat kontrasepsi) yang tentunya sudah dikenal seperti IUD, implan/susuk, pil, kondom dan suntik.
Pengguna pil dan suntik saat ini sangat besar namun demikian tentu hal itu belum menjamin keamanan dalam mencegah kehamilan karena kemungkinan terjadi kegagalan.
Hal ini disampaikan Kepala BKKBN Dokter Hasto Wardoyo saat membuka Webinar Peran Faskes dalam Mendukung Keberhasilan Program KB Pasca Persalinan yang diadakan Kementerian Kesehatan, BKKBN dan KlikKB, akhir minggu lalu.
Dokter Hasto dalam keterangan persnya menyampaikan bahwa dirinya mengharapkan penggunaan MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) seperti Implan dan IUD (Intrauterine Device) juga dikenal sebagai AKDR (Alat Kontrasepsi dalam Rahim) atau orang lazim menyebut spiral bisa lebih menjadi pilihan.
Baca lagi: Moms, Ini Ada Pilihan Alat Kontrasepsi Inovatif dan Nyaman
Menurut data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017, tren penggunaan alat kontrasepsi atau cara KB memang didominasi oleh KB suntik (32%) disusul pil (14%), IUD (4%), dan Implan (3%).
“Sejak 2020 BKKBN telah menambah pilihan alokon yakni implan satu batang dan suntik progestin 1 cc kemudian juga suntik kombinasi (estrogen, progesterone) 1 cc. Sebelumnya untuk suntik adalah 3 cc tentunya dengan adanya pilihan baru suntik dan implan ini akan lebih mudah bagi masyarakat,” jelas Hasto.
Kepala BKKBN optimis karena pengguna kontrasepsi suntik jangka waktu 3 bulan yang mengandung hormon progestin cukup dominan. Maka pergeseran penggunaan dari suntik menjadi implan merupakan hal yang mudah, karena tubuh akseptor (peserta KB) bisa menyesuaikan serta tidak sulit menerima implan karena memiliki kandungan yang sama.
“Kekurangan gizi pada anak juga sangat berkaitan erat dengan jarak kehamilan atau kelahiran. Terlalu dekat jarak kelahiran, terlalu banyak, serta terlalu tua atau muda usia ibu melahirkan, menjadi faktor tingginya angka kematian ibu dan bayi tentunya juga menjadi faktor terjadinya stunting,” tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut Dokter Hasto juga kembali menyampaikan, angka unmet need (kebutuhan KB yang belum terpenuhi) selama pandemi meningkat, orang-orang yang harusnya mendapatkan pelayanan KB akan tetapi belum bisa dilayani karena keterbatasan.
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 saja angka unmet need atau Pasangan Usia Subur (PUS) yang mestinya KB tetapi belum terlayani atau tidak ikut KB karena berbagai alasan terbilang tinggi, yakni 10,6% dari total PUS.
Baca juga: Kolom GWTT: Lama Tak Berolahraga, Mengapa Badan Terasa Kaku Saat Mulai Lagi?
“BKKBN mengharapkan jejaring pelayanan fasilitas kesehatan (faskes) bisa bertambah yakni faskes dari bidan praktek mandiri menjadi ujung tombak dari pelayanan KB. Dengan adanya pilihan-pilihan baru alokon ini juga saya harap menjadi daya tarik juga bagi penggerakan KB pasca persalinan,” pungkasnya.
Foto utama oleh Danu Hidayatur Rahman dari Pexels