Dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA.
Pernah ada seorang anak lelaki yang terkena kanker saraf tepi atau lazim disebut neuroblastoma. Tumor primernya ada di anak ginjal dan sudah menyebar ke kelenjar getah bening yang posisinya kurang menguntungkan karena melilit pembuluh darah besar di daerah perut. Dokter bedah tidak menganjurkan anak ini untuk dioperasi karena risiko pendarahannya yang sangat besar bila tindakan itu sampai dilakukan.
Upaya kemoterapi akhirnya ditempuh dengan harapan tumornya mengecil dan lilitan terhadap pembuluh darah besar di daerah perutnya berkurang. Setelah kemoterapi, hasil evaluasi menunjukkan keduanya tidak bergeming, yang artinya upaya kemoterapi gagal. Sebetulnya masih ada satu upaya lagi, yaitu radionuklir, namun sang anak menolak. Ia bahkan berkata kepada ibunya di hadapan saya di poliklinik, “Mending aku mati aja daripada harus di-radionuklir”.
Sang ibu menangis sedih mendengar ucapan anaknya. Ia sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Melihat suasana yang sudah tidak nyaman lagi, akhirnya saya berkata, “Bu, yang menjalani ini semua kan anak ibu. Mari kita beri dia kesempatan untuk menentukan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri. Mari kita dukung keputusannya”. Akhirnya, dengan berlinang air mata, ibu menyetujui apa yang anaknya putuskan untuk dirinya sendiri.
Baca juga: Rafly Dwi Marzuq: Menang Melawan Kanker Setelah Tertendang dan Beasiswa ke Amerika
Sebagai dokter, saya beritahu juga si anak dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak-anak seusianya, tentang kemungkinan apa saja yang terjadi jika ia tidak ingin diobati lagi. Saya sampaikan juga kepada ibunya untuk tidak menyalahkan sang anak jika suatu hari hal buruk terjadi menimpa dirinya. Jika memang sudah tiba waktu-Nya, kiranya ia dapat meninggalkan dunia dengan sukacita karena tahu bahwa seluruh keluarga mendukungnya.
Dalam situasi dan kondisi seperti ini, tidak jarang orang tua atau siapapun itu yang justru marah-marah dan berkata, “Kamu sih nggak mau dengar kata orang tua, jadi begini nih jadinya. Coba kalau kamu nurut, pasti tidak seperti ini jadinya”. Seandainya kita memposisikan diri sebagai si anak, bagaimana kira-kira reaksi kita mendengar kalimat-kalimat semacam itu?
Tentunya pasti sedih. Apalagi, biasanya situasi ini adalah situasi menjelang akhir kehidupan. Mengapa kita harus mengakhiri kebersamaan ini dalam suasana penuh kemarahan? Bisakah mereka menghargai pendapat ku dan berpisah dalam suasana hati yang sukacita dan penuh damai?
Harus diakui bahwa ini bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Dibutuhkan suatu kedewasaan dalam berpikir dan bertindak.