Oleh Dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA
Cerita yang akan saya sampaikan adalah cerita yang benar-benar terjadi beberapa hari yang lalu.
Saat itu pagi hari, telepon saya berdering. Setelah diangkat, terdengar suara perempuan yang ingin konsul dengan saya yang menyatakan bahwa ada seorang anak lelaki usia remaja yang kakinya bengkak. Ibu dari anak tersebut segera dihubungi dan didapat cerita bahwa anak ini sudah cukup lama menderita tumor di kakinya yang makin lama makin membesar dan terus menerus mengeluarkan darah.
Sang ibu sudah membawa anaknya ke puskesmas, yang kemudian dirujuk ke rumah sakit umum daerah. Terkendala dengan ketersediaan alat dan tenaga ahli yang terbatas, maka si anak di rujuk lagi ke rumah sakit dengan fasilitas dan tenaga kesehatan yang lebih memadai untuk menangani kasus yang dialami si anak.
Baca juga: Menghargai Keputusan Anak untuk Tidak Ingin Diobati
Singkat cerita, anak ini dibawa ibunya ke rumah sakit tersebut dengan harapan penyakitnya dapat ditangani segera. Harapan ternyata hanya tinggal harapan. Ibunya berkata bahwa anaknya hanya dilihat saja tanpa diperiksa oleh dokter setelah menunggu cukup lama di kursi roda. Saat hendak dilakukan MRI, mereka sudah datang tepat waktu tetapi akhirnya dibatalkan begitu saja tanpa keterangan yang jelas.
Menunggu antrian dokter di poliklinik dan tindakan MRI rupanya merupakan hal yang sangat menyiksa bagi si anak. Tumor yang sangat besar di kakinya sangat membuatnya tidak nyaman untuk duduk lama di kursi roda. Sembari menunggu, si anak juga jadi muntah-muntah. Apa yang dialami membuat dirinya trauma untuk pergi ke rumah sakit itu lagi. Jika sang ibu mengajaknya kembali ke rumah sakit, ia menolak dan bahkan berkata, “Kalau saya ketemu dokter justru saya cepat mati bu”.