Oleh Dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA
Satu hal yang menarik ketika seorang anak didiagnosis kanker, yaitu mereka jarang menanyakan apakah mereka bisa sembuh atau hal-hal lain yang berkaitan dengan penyakitnya.
Pertanyaan pertama yang hampir selalu mereka tanyakan adalah apakah mereka masih bisa sekolah dan bertemu teman-temannya.
Pernah seorang anak bertanya kepada saya, “Dok, boleh tidak Hadi bawa buku pelajaran dari rumah dan belajar di rumah sakit?”.
Tidak ada alasan tentunya untuk mengatakan tidak, maka, segeralah Hadi menelepon ayahnya di Pontianak untuk mengirimkan buku-buku pelajarannya secepatnya. Setelah buku-bukunya tiba, dengan bantuan relawan, Hadi tampak belajar dengan giat selama perawatan di rumah sakit.
Baca juga: Balita dan Layar Kaca – Mengapa dan Bagaimana Efeknya?
Melihat hal ini, saya dapat mengatakan bahwa Hadi adalah murid pertama dari program Sekolah Di Rumah Sakit atau Hospital Schooling di Indonesia. Di beberapa negara di Eropa dan Asia, program Hospital Schooling sudah berlangsung sejak lama.
Di Belanda, di rumah sakit tempat saya belajar, tersedia sebuah ruangan untuk belajar bagi anak-anak yang sedang menjalani perawatan. Pengajarnya adalah guru-guru yang diutus oleh sekolah yang memang berlokasi di daerah yang sama dengan rumah sakit itu berada.
Jadi, dapat dikatakan bahwa proses belajar mengajar anak-anak yg sedang dirawat di rumah sakit menjadi tanggung jawab sekolah tersebut. Guru-guru tidak mendapat tambahan uang lagi kalau mengajar di rumah sakit karena sudah merupakan bagian dari tugas yang harus diemban sebagai pengajar di sekolah.
Di Indonesia, hal ini belum mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Pernah beberapa anggota relawan mengunjungi Kementerian Pendidikan, Dinas Pendidikan, dan Suku Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Kesimpulan akhirnya, mereka hanya menganggap Hospital Schooling sebagai pendidikan informal saja. Padahal apa yang dipelajari anak-anak di rumah sakit adalah pelajaran-pelajaran formal.