Oleh Dr. Edi Setiawan Tehuteru, Sp.A(K), MHA.
Jika dipikir-pikir, manusia mana yang mau sakit? Akan tetapi, kadang antara keinginan dan kenyataan tidak sejalan. Itulah mengapa seorang manusia merasa terpukul ketika sebuah penyakit datang menyerangnya. Belum lagi bila yang terkena penyakit adalah seorang anak.
Bagi orangtua, hal seperti itu bagaikan bencana besar yang menimpa mereka. Apa lagi penyakit yang menghinggapi sang anak adalah kanker. Situasi ini makin membuat orangtua terpukul.
Ketika seorang anak terdiagnosis kanker, pada titik itulah ia akan memulai sebuah petualangan yang tidak menyenangkan. Ambil darah dari pembuluh darah di lengan yang harus dilakukan beberapa hari sekali, pemberian obat di antara dua ruas tulang belakang yang dilakukan seminggu sekali, pengambilan darah dari tulang pinggang yang dilakukan beberapa bulan sekali, semua itu bisa jadi membentuk rutinitas baru yang harus dijalani selama pengobatan berlangsung. Belum lagi efek samping dari obat yang diberikan.
Benar-benar suatu hal yang sifatnya traumatik bagi anak-anak yang terkena kanker. Sungguh sangat tidak menyenangkan, akan tetapi, mau tidak mau tetap harus dilaksanakan demi kesembuhan mereka.
Sehari sebelum ke rumah sakit, berdasarkan keterangan dari anak-anak, mereka sudah tidak dapat tidur nyenyak karena membayangkan bahwa besok akan kembali disakiti oleh jarum-jarum yang akan ditancapkan di tubuhnya. Saya hanya dapat membayangkan betapa susahnya nanti orang tua ketika akan mengajak mereka kembali ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan.
Sebagai tenaga kesehatan, saya mencoba untuk merumuskan suatu konsep yang sekiranya dapat membuat anak-anak mau ke rumah sakit dan betah di rumah sakit selama pengobatan. Konsep ini saya namakan “Bangsal yang Bersahabat” dengan motonya, yaitu “No Pain, No Scared” (Tidak merasa tersakiti dan Tidak merasa takut terhadap tenaga kesehatan yang merawatnya).
