Tja! Semua menyebut nama asing wanita-wanita hebat. Belum pernah kudengar sepak terjangnya, tapi sangat terkesan dengan tokoh inspiratif Hannah Arendt. Terutama pendapat soal kebanyakan pria dapat berbuat jahat dalam kondisi yang tepat.
Hmm… sepertinya seru! Mulai menduga-duga benarkah kejahatan dalam kondisi tepat bakal terlihat tidak jahat? Atau bahkan outputnya justru tampak sebagai pahlawan? Hah…!
Lalu tiba giliranku soal tokoh inspirasi. “Suami!” tegasku.
“Suami….? Nggak salah?” reaksi spontan si pengagum Hannah Arendt terkesima. Tepatnya menatap aneh dan sangat reaktif. Tentu saja, sebab kerap jadi saksi betapa sering aku bersilang pendapat dengan suami. (malu menyebut berseteru meski sesungguhnya sampai intonasi suara berbaur antara sopran dan tenor)
Mulai dari beda pendapat maupun pendapatan hingga cara pikir berujung pertikaian panjang. Bukan sekali dua kali, sudah semacam sajian rutin disantap bersama. Sampai tercipta rasa di mana kalau situasi tenteram, malah seakan menunggu, kenapa genderang perang tak berbunyi? Ada rasa kehilangan suasana bertikai. Aneh, tapi begitulah akibat rutinitas perselisihan sampai menjadi bagian dari hidup.
Suami merasa paling benar, aku merasa paling benar, padahal sesungguhnya bisa saja kami berdua salah.
Katanya aku berubah banyak di masa tua, lalu kataku kok dia nggak berubah juga padahal sudah tua!
Dia merasa tersakiti, aku merasa disakiti. Bisa jadi kami memang tengah saling menyakiti tanpa sadar hingga merasa orang paling menderita. Tapi karena yakin setiap penyakit ada obatnya, begitulah.., semua tetap berjalan selayaknya dan selalu bersama.
Aaaargggh..! Pokoknya beragam silang pendapat, di mana rasanya sudah berupa ‘kejahatan’ terselubung, tapi dilakukan pada saat yang tepat. Sebagaimana tertulis dalam catatan filsuf Jerman. Akhirnya tak lagi merasakan apakah sesungguhnya berupa kejahatan atau sekedar bentuk protes semata dari ketidak puasan keadaan. Sekadar butuh pelampiasan.
Entah kenapa aku (belum tentu suamiku) sudah menyatu dengan segala permasalahan dari hari ke bulan menuju tahun menjelang. Semua berlalu saja dan keluarga kami tetap bertahan sampai kini. Padahal kalau menilik situasi dan catatan setiap kejadian, ingin rasanya berlari dan menjauh.
Namun ada satu pikiran menggantung, apakah berlari merupakan jalan keluar melepaskan diri? Belum tentu!
Menjadikan pasangan hidup sbg sumber inspirasi memang sangat ideal, apalagi bila berlaku dari dua pihak. Tapi yang ideal selalu jarang ditemui.
Nah kasus kak Ita ini malah mungkin cuma ada satu hehe. Alias sangat langka. Suka berseteru dengan pasangan hidup, tapi malah bisa dijadikan inspirasi. Luar biasa.
Kesimpulannya dalam segala situasi “buruk”, selalu ada sisi positif yang bisa dinikmati.
Bravo kak Ita
Tulisan Ita sangat inspiratif, bagaimana memanage konflik dan berdamai dengan kondisi yang ada sehingga menghasilkan sesuatu yg positif dan penuh kreatifitas, ketika “lari” dan meninggalkan ini semua, bukanlah solusi yang tepat.
Anak , juga merupakan salah satu alasan, dan sumber inspirasi selain pasangan hidup kita, bahwa alangkah baik dan sempurnanya sebuah keluarga ketika ada peran ayah dan ibu secara bersamaan dan bergantian melengkapi langkah perjalanan hidup mereka. Anak akan belajar dari contoh yang terjadi sehari hari, di depan mata mereka, bagaimana mereka belajar berdamai dengan konflik, mengelolanya, dan meminimalisir efek negatif yang timbul, baik dalam kehidupan di masyarakat dan di keluarga mereka kelak.
Perlu diingat, bahwa sebaiknya anak2 tidak disuguhkan dengan konflik atau keributan yang berkepanjangan dari orang tua mereka, karena hal itu pastinya berdampak pada psikologis mereka. Berikanlah anak2 kita ” kenyamanan” di rumah, sehingga mereka akan selalu menganggap “home sweet home’ di rumahnya sendiri, bukan di tempat lainnya….