Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama Kantor Penelitian United Nations Children’s Fund (UNICEF), ECPAT Indonesia, dan INTERPOL meluncurkan laporan hasil penelitian disrupting harm pada Kamis (29/9).
Penelitian ini memberikan gambaran terkait situasi eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap anak di ranah daring.
“Jika ingin mencapai bangsa yang tangguh, sejahtera, dan maju sebagaimana cita-cita kita semua, maka kita harus berupaya sekuat tenaga agar anak-anak Indonesia terpenuhi hak dan perlindungannya, kapan pun dan dimana pun. Salah satu hal yang menjadi tantangan besar saat ini adalah memberikan perlindungan kepada anak-anak kita di dunia maya atau ranah daring,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, secara virtual.
Baca juga: Seniman Muda Ini Tampilkan Apik Tari Sekar Melati dan Lengger Banyusobo Tutup Ajang BBM Wonosobo
Nahar mengatakan, pandemi Covid-19 turut menyumbang sejumlah konsekuensi yang tidak terduga, salah satunya menciptakan perubahan bentuk eksploitasi seksual anak secara daring. “Risiko grooming, penyebaran konten pornografi anak, ajakan sexting, bahkan kasus live streaming sexual abuse terjadi pada anak-anak kita,” kata Nahar.
Terdapat lima temuan kunci dalam penelitian disrupting harm di Indonesia, (1) dalam 1 tahun terakhir, 2 persen anak-anak pengguna internet berusia 12-17 tahun di Indonesia menjadi sasaran bentuk nyata eksploitasi dan pelecehan seksual daring; (2) pelaku Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA) paling sering adalah orang yang dikenal oleh anak korban; (3) anak yang menjadi sasaran OCSEA cenderung menceritakan kepada jaringan interpersonalnya, dibandingkan saluran bantuan dan kepolisian; (4) upaya Pemerintah Indonesia dalam mengatasi OCSEA perlu ditingkatkan; dan (5) tindakan legislatif lebih lanjut diperlukan untuk mengkriminalisasi semua tindakan OCSEA.
“Besar harapan kami, hasil penelitian ini memberikan penguatan kepada pemerintah Indonesia, khususnya KemenPPPA dan Kementerian/Lembaga terkait lainnya untuk memberikan perhatian yang besar terhadap isu ini serta mengupayakan lahirnya kebijakan tentang pelaksanaan Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring,” tutur Nahar.
Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, Ahmad Sofian mengatakan, penelitian disrupting harm di Indonesia sudah dimulai sejak 2019 lalu. “Kami tentu sudah memiliki beberapa temuan dari penelitian ini dan terdapat aspek yang perlu segera direspon. Terdapat rekomendasi konkret yang ditujukan kepada pemerintah, penyelenggara sistem elektronik, organisasi yang memiliki relasi secara langsung dengan keterkaitan/keterhubungan antara anak dengan dunia platform,” ujar Ahmad.
Dalam kesempatan yang sama, Spesialis Perlindungan Anak UNICEF, Ali Aulia Ramly menyebutkan, laporan hasil penelitian disrupting harm telah beberapa kali didiseminasikan.
“Kami berkesempatan mengkonsultasikan draft dan rekomendasi awalnya dalam pertemuan Konsultasi Nasional pada April 2022. Pertemuan itu juga memberikan kesempatan kepada kami untuk mempertajam beberapa rekomendasi serta memberikan beberapa revisi dan masukan. Kami juga sudah menyampaikan hasilnya pada beberapa forum,” jelas Ali.
Baca juga: Manfaat Rekreasi dan Aktivitas Luar Rumah
Lebih lanjut, Ali menegaskan, hasil penelitian terkait disrupting harm tidak hanya disimpan, tetapi dimanfaatkan sebagai dasar yang memengaruhi kebijakan di Indonesia.
“Hasil studi disrupting harm bahkan prosesnya menunjukkan contoh yang sangat bagus terkait evidence-based policy. Temuan ini selain sudah dibahas dalam konsultasi nasional, kami juga sudah memasukan hasil maupun rekomendasinya ke dalam draft Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring,” pungkas Ali.
Foto Utama oleh cottonbro dari Pexels