KOLOM DIGITAL EDUCATION OLEH M. GORKY SEMBIRING
Sejak pandemi COVID-19 merebak di awal 2020, seluruh aktivitas sehari-hari dijalankan dari rumah. Seperti belajar, bekerja dan bahkan berdoa. Peristiwa “dirumahkan” tersebut ternyata berjalan panjang, juga berlarut.
Implikasi wajib berkegiatan dari rumah membuat sebagian besar penduduk dunia melakukan kegiatan dengan memanfaatkan berbagai media berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Bahasa kerennya, secara online, yang sekarang populer dengan sebutan daring (dalam jaringan).
“Jebakan” pandemi tersebut melahirkan kebiasaan baru. Susah membayangkan bagimana menyesuaikan diri dengan cepat di tahap awal. Bayangkan saja, tadinya berkegiatan tatap muka mendadak harus tatap maya.
Memasuki April 2020 lalu, bahkan sampai pertengahan 2021, banyak kegagapan terjadi di masyarakat. Bukan hanya gagap teknologi, tetapi juga mendadak gagap secara sosial. Dalam perjalanannya, menggunakan gawai atau gadget sebagai media beraktivitas dengan internet jelas membuat gagap. Seiring waktu berjalan, memasuki akhir 2020, mulai terbiasa dan keluhan karena teknologi sudah hampir semua dapat diatasi.
Baca juga: Beragam Masalah Paling Umum Saat Si Kecil Masuk PAUD dan TK
Ternyata, manusia sebagai mahluk sosial, akhirnya menemukan titik jemu dan jenuh juga. Terlalu lama berada dan berkegiatan dari rumah menimbulkan kebosanan yang berujung pada kejengkelan akibat terkurung di rumah dalam kurun waktu lama. Bahkan, tanpa kepastian kapan berakhir. Tak jelas kapan bisa beraktivitas kembali seperti sedia kala sebelum pandemi menyeruak.
Peristiwa ini mengajarkan kita menjaga jarak. Bisa saja, meski sudah dekat tidak jaminan akan bisa bersatu. Begitupun meski jauh belum tentu tak bertemu. Menjadi benar ungkapan, karena deraan wabah virus, kita jadi paham artinya rindu. Paham betapa berharganya pertemuan. Pada saat yang bersamaan, kita wajib maklum bahwa kita bukan sedang saling bertarung. Namun justru tengah berjuang melawan virus. Harus tahu persis apa yang sedang dihadapi dan cara menghadapinya.
Mari renungkan kutipan dari Salman Khan sebagai refleksi diri: “Jika saya harus memilih antara guru yang luar biasa atau teknologi yang luar biasa untuk saya atau anak saya sendiri atau anak siapa pun, saya akan memilih guru yang luar biasa, secara pribadi, kapan saja!”
Sulit menyanggah kutipan di atas. Memang itulah kenyataan sejati. Namun, dalam keadaan kahar, di mana upaya melakukan interaksi tatap muka untuk belajar tidak memungkinkan, bagaimana kita melihat keadaan ini? Apakah tetap harus belajar dengan cara bertatap muka bersama guru dengan risiko ancaman kesehatan juga keselamatan? Tentu bukan pilihan mudah.
Realitanya, meski dalam proses belajar melalui daring masih ada guru, dan memiliki peran sentral, interaksi harus tetap dilakukan secara daring. Artinya, akan ada kesenjangan yang mungkin dan bakal terjadi dilihat dari kinerja atau capaian belajar siswa. Akhirnya, kita tak punya pilihan kecuali menjembatani peran guru dalam memanfaatkan teknologi terkini dengan berbagai konsekuensi yang mengiringinya.
Meski banyak yang sudah terbiasa dan tidak ada masalah terkait dengan pekerjaan secara luring (luar jaringan), termasuk belajar, ternyata hal ini dapat menjadi masalah tersendiri bagi anak-anak usia sekolah. Muncul banyak kegalauan karena merasa terkurung di rumah. Awalnya, penggunaan gawai ditujukan sebatas untuk kegiatan utama, seperti bekerja bagi orang tua yang harus bekerja. Atau belajar bagi anak-anak yang memang harus belajar.
Namun, akibat keterkurungan berkepanjangan, muncul implikasi penggunaan gawai jangka panjang dalam mengakses media daring. Di satu sisi, media daring membantu melakukan pekerjaan sehingga tidak terhalang meski berkegiatan melalui pendekatan tatap maya. Tetapi, di waktu yang bersamaan, media daring juga dapat memberi efek samping terhadap perkembangan anak.
Banyak keluhan meskipun media daring dapat digunakan untuk hal positif dan konstruktif, jika tidak dibarengi kedewasaan dan kebijakan yang mumpuni, malah dapat digunakan untuk hal-hal yang kurang bahkan tidak mendidik. Hal ini menjadi lebih kompleks jika dikaitkan dengan anak-anak yang masih membutuhkan pendampingan orang tua agar berselancar melalui kegiatan daring tidak memberi pengaruh negatif.
Pada saat awal merebaknya pandemi COVID-19, ketika semua keluarga terjebak di rumah, orang tua dan anak-anak cenderung menghabiskan lebih banyak waktu dengan ber-daring-ria. Obrolan sekolah dengan teman dan kakek-nenek, bahkan semua pelajaran, bergeser menjadi daring.
Mengantisipasi dan memitigasi agar tetap terhubung namun sekaligus membantu anak terhindar dari dampak negatif dari kenormalan baru ini menjadi penting. Itu juga jalan mendorong mereka melanjutkan kegiatan dan kehidupan. Sekali lagi, kegiatan daring itu juga menghadirkan serangkaian tantangan baru bagi setiap orang tua. Bagaimana mampu memaksimalkan semua yang ditawarkan internet sembari meminimalisir dampak yang berpotensi membawa ancaman atau bahkan bahaya.
Baca juga: Ini Suara Hati Pops di Hari Ayah Nasional, Keren dan mengharukan!
Bukan perkara sederhana menemukan keseimbangan, apalagi saat menghadapi krisis kesehatan dalam pandemi. Perlu menemukan keseimbangan “baru” dalam berkegiatan berbasis media daring agar anak-anak terhindar dari potensi paparan konten yang mengganggu, yang tak mustahil bahkan dapat merusak karena dapat diakses secara bebas dan terbuka.
Jika tidak diwaspadai dengan baik, maka pertumbuhan dan perkembangan anak-anak dapat terganggu. Terutama bagi anak yang sedang dalam usia emas. Yakni, mereka yang sudah atau sedang berada di tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai tingkat sekolah menengah pertama.
Mari waspadai fenomena ini dengan bijak. Minimal ikut berupaya, bahwa meski pembelajaran dimediasi teknologi, kiranya peran guru dan orang tua tidak serta merta sirna. Usahakan agar tidak semata membahas hal buruk saja terkait dengan pandemi, sebab hanya akan menyebarkan virus itu menjadi lebih luas.
Anggap saja sebagai musibah yang menjadi jalan meruntuhkan keangkuhan, bukan malah menambah keegoan.