Inilah delapan orientasi menyongsong kenormalan, keseimbangan dan keniscayaan baru. Kiranya dapat dijadikan sebagai wacana dan rujukan yang sesuai.
1. Optimis dan Berbelas Kasih kepada Diri dan Sesama
Salah satu cara menjaga diri adalah dengan memperhatikan reaksi atau respon kita secara seksama terhadap suatu gejolak atau fenomena. Seperti apa keadaan tahun ini? Bagaimana mengatasinya? Mampukah kita menghargai diri sendiri guna menghadapi tantangan dan merencanakan respons untuk menghadapi dan menjalaninya?
Tak jarang, cara merespons secara tidak tepat justru memberi implikasi yang tidak diharapkan. Munculnya satu gejolak atau fenomena merupakan suatu hal. Merespon dan bereaksi terhadap gejolak dan fenomena tersebut adalah hal lain. Sejatinya, wajib waspada menanggapi disrupsi. Optimisme dan ketenangan memberi respons, terhadap apapun, terutama terhadap guncangan, menentukan bagaimana kita mampu mengatasi gejolak dengan tindakan yang terukur.
2. Tanggapi Guncangan dengan Cinta dan Kesabaran
Banyak anak-anak akan baik-baik saja saat mereka kembali ke sekolah dan kegiatan sosial lainnya. Keraguan dan kecemasan orang tua merupakan hal lazim. Jadi, kita harus membantu anak-anak menjalani kembali “kehidupan nornal” seperti sediakala dengan dukungan yang memadai saat memasuki kembali “dunia” yang dulu mereka miliki.
Baca juga: Moms, Ini 5 Sensory Play Sederhana Dimainkan Bersama Si Kecil
Dialogkan ketakutan itu dengan anak-anak secara jujur dan terbuka, harus bersinergi dan saling menguatkan agar tidak melahirkan cemas berlebihan. Orang tua dan anak-anak harus mampu menanamkan kepercayaan diri pada daya tahan masing-masing.
Bisa jadi ada saat ketika kita mengambil satu langkah mundur. Namun ke depannya bisa jadi untuk maju dua atau tiga langkah. Apapun yang terjadi, yang harus tetap berlanjut adalah melangkah maju. Hal ini diperoleh di saat kita tetap jeli dan sabar dalam merespons semua gangguan dan guncangan.
3. Membuat Rencana dan Dijalankan secara Seksama
Bagi yang berjiwa ekstrovert, dorongan samar saja sudah cukup buat mereka maju. Sebaliknya, bagi yang introvert, tentu membutuhkan daya dorong lebih besar. Perlu diingat, bisa jadi daya juang dan stamina kita berinteraksi secara sosial tidak sekuat dan setahan tahun-tahun sebelumnya. Karenanya, berbaik hatilah pada diri sendiri.
Caranya? Membuat rencana terbaik bagaimana mulai membuka lagi dunia ini. Melangkah dan menjalankan proses lanjut lebih sederhana. Mungkin dimulai dengan mengunjungi taman atau ke toko kelontong yang tidak terlalu ramai dan sibuk. Perencanaan dan langkah kecil seperti ini secara berangsur membangun dasar dan pertumbuhan yang kuat.
Modal kita kembali ke kenormalan baru dengan tingkat kewaspadaan tinggi.
4. Kenali Ketidaknyamanan versus Kesusahan
Ketika masuk dan menjelajahi dunia yang selama beberapa waktu kita tinggalkan, memberi kecemasan baru di awal melangkah adalah normal. Harus membiasakan diri melalui proses aktivasi dan melatih otak guna menghindari aktivitas tertentu yang membuat ragu bahkan takut.
Sebaiknya membayangkan saja ragam hal yang membuat kita tetap aman meski dalam kondisi ketidakmenentuan yang luar biasa.
Mampukan diri menoleransi ketidaknyamanan. Terutama di saat sedang dalam proses mengawali masuk atau kembali ke dunia yang tadinya sudah tertinggal lama. Seperti anak-anak kembali ke sekolah secara langsung untuk pertama kalinya dapat mengungkapkan kegugupan.
Sebagai orang tua, harus menguatkan anak-anak bahwa perasaan gugup sepenuhnya biasa dan alami. Kembangkan saja suasana agar mereka memiliki semangat memulai. Menamai emosi itu penting, yaitu untuk memvalidasi perasaan. Ingat, anak-anak bergabung dengan sejumlah anak lain sebagai kelompok. Semua pada dasarnya merasakan hal sama.
Ketidaknyamanan adalah tempat yang sering kita pelajari. Kesusahan adalah hal lain yang sama sekali berbeda. Tidak ada definisi pasti dan tegas tentang hal ini. Kitalah yang paling mengenal anak sendiri. Kesusahan ditandai ketidakmampuan mengatasi dan perasaan kewalahan. Kita tidak tumbuh jika tidak berusaha berjalan di antara ketidaknyamanan dan kesusahan. Hal ini wajib diingat ketika anak-anak kembali ke sekolah.
5. Ketika Rasa Takut Hadir: Pikirkan dan Rasakan!
Memiliki rasa takut adalah hal normal! Ada saat untuk mengubah rasa dan perilaku was-was dan takut yang telah menjadi normal selama pandemi. Tanamkan sikap kelembutan. Hadirkan rasa belas kasih dalam memberi respons terhadap penggerak yang memberi rasa takut.
Saat melakukannya, kita mungkin juga menemukan diri menjadi gugup dan gagap karena sesuatu yang tragis menimpa akibat pandemi. Mungkin kehilangan pekerjaan atau hal lain yang menyisakan trauma berkepanjangan.
Jalan sepi namun manjur keluar dari kungkungan trauma dan kesedihan berkepanjangan adalah dengan cara melaluinya. Tidak buruk membiarkan diri memiliki perasaan ketidaknyamanan tersebut. Namun, tidak lupa untuk tetap bergerak maju dan berupaya cerdas melaluinya.
Baca juga: Cemilan Sehat Dari Kentang, Ubi dan Kacang Untuk Ibu Hamil
6. Mengakui dan Menghormati Perbedaan Pendapat di Keluarga
Pasangan ayah dan bunda dalam sebuah keluarga bisa jadi mengalami perbedaan dalam melakukan mitigasi akibat pandemi. Ini sangat lumrah. Dapat dimengerti bahwa bisa jadi ada dua pola atau cara pengasuhan dan dengan toleransi risiko yang berbeda.
Tetapi yang terpenting adalah memperlakukan pasangan dengan rasa hormat. Memaklumi rasa ketakutan, kecemasan, dan harapannya saat kembali memasuki dunia yang normal.
Anak-anak juga bisa terimbas perbedaan orang tua dalam merespon dan memberi jalan keluar akibat pandemi. Oleh sebab itu, saat ini adalah waktu yang tepat dan penting untuk terus berbicara dan berkomunikasi dialogis tentang respons emosional masing-masing. Dengan demikian kita dapat berharap semua anggota keluarga lebih hadir secara fisik dan mental mendukung anak-anak.