Dalam masyarakat demokratis mana pun, warga negara menikmati kebebasan dan hak. Tetapi tidak ada yang dapat melakukan apa pun yang mereka inginkan tanpa batas. Memiliki hak dan kebebasan namun tetap memiliki kewajiban. Itu ciri utama warga dunia yang bertanggung jawab.
Pendekatan pengasuhan demokratis menekankan pada kemandirian dan hak untuk mengambil keputusan. Namun bukan berarti dapat melakukan segala keinginan. Berikut beberapa orientasi yang dapat disimak dan digunakan mengupayakan pola pengasuhan demokratis demi kemaslahatan anak.
Satu: Perubahan Kepercayaan. Secara dogmatis, pola asuh demokratis tidak menganggap anak sebagai bawahan orang dewasa. Anak merupakan individu unik. Terpisah dari orang dewasa. Mengasuh anak secara demokratis sebenarnya tidak sulit. Caranya, mengubah keyakinan tentang perilaku mengasuh anak. Itu kunci dasarnya. Setelah itu, akan memudahkan proses berikutnya. Keyakinan penting diadopsi dan butuh waktu mempelajari hal-hal baru.
Masalah perilaku tidak hilang dalam semalam. Tak jarang dapat pula menjadi bumerang meski dengan pola asuh yang keras. Hasil jangka panjang hanya dapat dicapai dengan membiarkan anak-anak berlatih dan memperbaiki perilaku mereka dari waktu ke waktu.
Baca juga: Berantas Perundungan di Sekolah dengan Kolaborasi dan Partisipasi Aktif Ekosistem Pendidikan
Dua: Anak adalah Pembelajar Aktif. Anak-anak belajar paling baik dengan melakukan daripada mendengarkan. Itu sebabnya mengapa penting mereka harus berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Seperti keterampilan lain, penilaian yang baik membutuhkan latihan.
Tidak mungkin seorang anak yang belum pernah membuat keputusan langsung dapat melakukannya begitu mereka dewasa. Baik adanya membiarkan mereka berpartisipasi dalam pengambilan keputusan demi kepentingan keluarga. Tidak bisa dikurang-kurangi maupun dilebih-lebihkan.
Anak-anak tidak melakukannya sendirian. Butuh bimbingan dan bantuan dalam membuat keputusan berdasarkan informasi utuh. Kita dapat menetapkan aturan untuk hal-hal yang tidak dapat mereka putuskan sendiri. Terutama terkait erat dengan masalah kesehatan dan keselamatan. Sama seperti dalam masyarakat demokratis. Masyarakat diharapkan mengikuti hukum dan menghindari pengambilan keputusan yang berbahaya. Apa lagi membahayakan warga lain.
Tiga: Mendengarkan Aktif dan Fleksibel. Mengasuh secara demokratis membutuhkan keterampilan mendengarkan secara aktif dan efektif dengan penuh perhatian. Bersiap bernegosiasi untuk mencapai solusi secara dialogis. Bernegosiasi dialogis atas aturan agar dapat diterima semua pihak.
Itu ciri demokrasi yang baik. Masalah yang tidak terkait dengan kesehatan atau keselamatan biasanya memiliki lebih dari satu jawaban. Setiap orang berkompromi mencapai solusi yang disetujui. Tidak berlaku apa yang sering diucapkan diktator, dengan ungkapan atau kalimat klise, “Karena saya bilang begitu!” Seruan “tersebut” sama sekali bukan dialog. Jelas tidak dialogis
Empat: Buat Aturan yang Baik. Libatkan anak saat membuat aturan. Menetapkan batasan mungkin memerlukan beberapa negosiasi. Dengan cara demikian akan membantu orang tua menentukan aturan yang masuk akal dan rasional yang positif untuk diadopsi.
Dengan cara itu, anak-anak akan belajar banyak hal tentang memberi-dan-menerima. Kesempatan dengan proses semacam ini yang akan mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk membuat keputusan. Baik karena dilakukan melalui proses berbasis kesetaraan dan mandiri lazimnya dilakukan orang dewasa.
Mengadakan pertemuan keluarga untuk membahas masalah penting jelas memupuk hubungan baik di antara anggota. Hal ini akan bermuara pada rasa memiliki dengan kebersamaan yang sejati.
Lima: Gunakan Konsekuensi Alami, Bukan Konsekuensi Logis. Beberapa orang tua mencoba memotong proses pembuatan aturan dan negosiasi dengan memperkenalkan “konsekuensi logis.” Ketika mereka tidak melihat manfaat menggunakan demokrasi, mereka menyatakannya sebagai gaya pengasuhan yang salah. Konsekuensi logis ini tidak logis.
Karena logika ini berkaitan dengan membengkokkan anak sesuai keinginan kita. Itu bukan demokrasi yang sebenarnya. Itu urgensinya menerapkan konsekuensi alami. Hal ini merupakan salah satu penerapan dari bagaimana kita merubah keyakinan tentang pola pengasuhan anak secara otoritatif.
Enam: Perawatan Diri untuk Mengatur Diri. Bagi orang tua yang lelah dan stres, bernegosiasi dan mendiskusikan aturan itu sulit. Menambah tingkat depresi saja. Oleh sebab itu, merawat dan menjaga diri sendiri terlebih dahulu merupakan keniscayaan. Perawatan diri memungkinkan pengaturan emosi menjadi lebih baik. Dengan demikian tidak mudah terpicu emosi tak berguna. Jadi mampu menghindarkan diri dari kesal berlebihan, tertekan hingga membuat tak mampu mewujudkan pola pengasuhan dan pendampingan anak secara demokratis.
Dalam proses yang tidak demokratis menjadi mustahil mengharapkan hasil (anak-anak) yang memiliki sikap dan jiwa yang demokratis!
Sejatinya, banyak hal baik dalam mendampingi dan mengasuh dapat diadopsi dan diterapkan. Namun ada juga hal-hal tak tepat atau malah jahat. Tidak membantu anak dengan cara melindunginya dari kenyataan. Justru kita sekuat tenaga dan upaya mendampingi dan mengasuh anak dengan menanamkan keyakinan bahwa kebaikan selalu menang atas kejahatan.
Banyak fakta muncul dengan cerita dan kisah kejahatan dalam rupa kekerasan, kemiskinan, dan penderitaan. Bahkan peperangan. Banyak orang tua berusaha melindungi anak-anak dari sisi gelap kehidupan. Hal ini menjadi beban yang berat dan sulit.
Sebaliknya kita dapat mengingatkan anak-anak tentang kekuatan sifat manusia dan kemurahan hati masyarakat global. Mungkin tampak sederhana, tetapi kekuatan positif ini dapat memberikan kenyamanan luar biasa.
Baca juga: Tahukah Moms? Ini 6 Sayuran Terbaik Untuk Penambah Darah Ibu Hamil
Kebajikan dalam uraian tentang pola asuh otoritatif–demokratis–ini belum tentu membantu keluar dari kebuntuan pendampingan dan pengasuhan atas anak-anak. Namun jika diterapkan, pasti memampukan kita menghindari potensi salah kaprah. Jauh lebih sederhana membangun anak yang kuat dan hebat ketika mereka muda daripada memperbaikinya setelah mereka dewasa karena salah kaprah!
Sekali lagi, dengan pola pengasuhan demokratis dalam konteks parenting kita dapat berharap membantu melahirkan anak-anak dengan sikap dan jiwa yang juga demokratis.
Berfungsi dan kuat membutuhkan warga yang sehat jiwa dan raga, berpendidikan, partisipatif dan kontributif berlandaskan moral yang fungsional. Pilihan orientasi pengasuhan anak dalam keluarga menjadi jembatan emas menghadirkan demokrasi yang membawa kemaslahatan bagi alam semesta.
Foto utama oleh Migs Reyes dari Pexels