Satu: Memahami Pola Asuh Demokratis
Pengasuhan demokratis melibatkan dan memperlakukan anak-anak secara setara diantara sesama anggota keluarga dengan hormat dan bermartabat. Anak-anak diberi pilihan. Dikondisikan agar bertanggung jawab atas keputusan mereka. Ini bukan berarti mereka dapat melakukan semua yang dilakukan orang dewasa dalam keluarga. Kebebasan harus diberi sesuai tahap perkembangan usia.
Untuk itu menjadi penting memahami parenting secara mendalam dengan mengetahui ciri-cirinya. Yakni ciri pola asuh demokratis. Agar tidak terjadi salah arah atau malah salah kaprah.
Dua: Ciri-ciri Pola Asuh Demokratis
Berikut adalah aspek utama dari pola asuh demokratis. Pertama, berfokus pada aturan. Orang tua yang demokratis mendiskusikan aturan dengan anak-anak. Lalu menjelaskan pentingnya memiliki aturan. Fokuslah membuat anak memahami aturan. Bukan hanya menghukum saat melanggar aturan.
Baca juga: Moms, Ajarkan Si Kecil Buang Sampah Plastik Jadi Kunci Atasi Problem Lingkungan
Kedua, mendorong pilihan. Gaya pengasuhan demokratis mendorong anak membuat pilihan dalam kehidupan sehari-hari. Pilihan layaknya diikuti konsekuensi. Dengan begitu anak-anak diharapkan mampu mengasosiasikan konsekuensi dengan apa yang menjadi pilihan mereka.
Ketiga, penguatan positif. Orang tua demokratis menghargai perilaku positif anak. Menghargai ketika mengikuti aturan, termasuk dalam membuat pilihan yang baik. Jika harus melakukan hukuman karena melanggar aturan, tidak serta merta hukuman keras bahkan berbahaya apalagi meninggalkan trauma.
Keempat, daya tanggap dan motivasi. Orang tua tanggap terhadap kebutuhan anak. Lalu memberi motivasi guna mencapai tujuan mereka. Jadilah orang tua hari ini yang kita ingin anak-anak kelak tetap mengingat kita. Ingat, anak-anak belajar lebih banyak dari siapa kita dibandingkan dengan apa yang kita ajarkan kepada mereka.
Kelima, kesetaraan dan kepositifan. Karena orang tua memperlakukan anak secara setara, mereka tidak akan memaksakan pendapat. Sebaliknya, akan berdialog seperti yang mereka lakukan dengan orang dewasa. Kedalaman cinta orang tua kepada anak tidak dapat diukur. Tak ada takaran perbandingannya.
Hal itu melebihi kepedulian terhadap kehidupan itu sendiri. Cinta orang tua kepada anak terus menerus. Bahkan melampaui rasa sakit, patah hati atau kekecewaan sekalipun.
Keenam, cinta, kehangatan, dan pengertian orang tua, ditandai dengan mengasuh dengan penuh perhatian. Cinta adalah rantai yang menghubungkan seorang anak dengan orang tua. Beri pujian kepada anak-anak secara terbuka. Namun, tegur mereka secara diam-diam.
Jika kita membesarkan anak-anak agar mereka yakin dan mampu mencapai tujuan yang mereka putuskan, kita akan berhasil sebagai orang tua. Artinya, kita telah memberi mereka kemampuan dan berkat terbesar.
Pola asuh demokratis mirip dengan otoritatif. Ada beberapa contoh untuk memahami konsep ini dengan lebih baik. Dengan mendalaminya, kita berpeluang menerapkannya secara efektif kemudian.
Tiga: Contoh Pola Asuh Demokratis
Ilustrasi 1: Andai anak tidak suka sayur dan menolak makan. Kita kemudian bersikeras. Ujungnya, mereka akan mempertanyakan. Sanggahan mereka biasanya: “Mengapa saya harus makan sayuran?”
Kita wajib menyampaikan mengapa harus makan dan menyukai sayuran. Jelaskan mengapa hal itu baik untuk mereka. Bahwa sayuran memiliki vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh. Perlu dikonsumsi agar tetap sehat. Beri contoh dengan cara kita mencicipi dan kemudian memakannya. Sebagai teladan. Sambil berkata, “Mau coba yang mana, wortel, timun atau tomat yang dimakan terlebih dahulu?”
Baca juga: Mendikbudristek: Manajemen Talenta Jadi Prioritas Merdeka Belajar
Ilustrasi 2: Remaja putri kita datang dengan surat teguran dari sekolah. Akibat dari perilakunya yang kurang baik. Sang remaja harus menghadap guru pembimbing dan memberi penjelasan. Bagaimana kita merespons kejadi seperti itu?
Perlahan dan lembut, bertanya dengan nada rendah. Lalu katakan, “Sepertinya kamu mengalami hari buruk di sekolah ya. Dapatkan menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi?” Kemudian dengarkanlah anak tanpa menyela dan menilai jawaban maupun perilakunya. Jangan serta-merta berkomentar, misalnya dengan mengatakan, “Tidak sepantasnya kamu bertindak seperti itu. Tau tidak, bahwa mendapat surat teguran merupakan hal memalukan?” Sebaliknya, katakan dengan lembut setelah mendengarkan semua penjelasan anak, “Jika ada masalah di kelas, bicarakan dengan guru. Awali dengan menyampaikan permohonan maaf atas perilaku yang tidak pada tempatnya!”
Luar Biasa Pak Prof…🙏terimaksih ilmu nya semoga kami bs jd ortu yg demoktratif…