Entah aku mengalah mencoba membujuk, atau dia lebih dulu mendekat minta maaf. Tetapi butuh waktu. Bisa hitungan jam, hari, tapi tak sampai mingguan. Jelas ini menjengkelkan, sebab merusak suasana rumah jadi terbawa suram.
Hal begini selalu terulang. Belum juga ketemu pola yang sekiranya bisa meminimalisir perseteruan ibu dan anak? Tapi satu yang pasti kami selalu mengadakan percakapan intim berduaan dengan hastag mom and daughter, selang beberapa hari setelah terjadi kekakuan akibat persoalan air mata.
Dia selalu menjelaskan, sesungguhnya menangis untuk dan karena dirinya sendiri. Tanpa sangkut paut denganku. Satu pintanya, agar diijinkan saja menangis. Lha, ibu mana yang sanggup melihat air mata buah hati kesayangan berderai? Pastilah kepo maksimal cari tahu sebab musababnya atas nama cinta dan perhatian. Tak hendak anak terluka, ingin jadi pelindung senantiasa agar selalu bahagia.
Bahagia?
Tja! Kenapa tidak pernah berpikir, bahwa air mata itu lebih mampu memberi ketenangan, lega, lalu berakhir bahagia terlepas dari himpitan beban?
Kenapa selalu orang tua (terutama aku) merasa sebagai satu-satunya pelindung, pahlawan selalu siaga memperjuangkan kebahagiaannya? Sadar nggak sih, keinginan selalu mengambil alih permasalahan anak tanpa memberi kesempatan menyelesaikan dengan caranya sendiri meski sekedar lewat sedu sedan, justru mengubur kebahagiaannya?
Padahal sesederhana hanya meminta ruang dan waktu untuk menangis. Namun aku merampas, akibat kekuatiran di luar batas. Cinta melimpah ruah yang berbalik jadi kemudi yang selalu aku stir. Akhirnya dililit over thinking!
Untunglah semua itu terhenti ketika akhirnya dia datang dan berkata lirih: “Aku hanya ingin menangis Ma, ijinkan aku menangis. Itu saja, dan semua akan baik-baik saja.”
Di awal aku tetap bersikeras. Takkan pernah air mata menyelesaikan masalah apalagi menjadikan semua baik-baik saja. Berbagi cerita dan bebanlah akan membuat seseorang lega. Bukan tangisan. Padahal semua ini karena kekuatiran berlebih, tidak pada tempatnya pula.