Orang tua memiliki peran penting dalam pencegahan dan penanganan stunting dengan pemenuhan nutrisi berkualitas pada anak. Jika anak telanjur mengalami stunting, bukan berarti tidak ada harapan. Penelitian Graham McGregor di Jamaica memperlihatkan bahwa pangan lokal ditambah terapi nutrisi susu 1 kilogram setiap minggu dilengkapi terapi stimulasi bermain selama 18 bulan pada anak yang mengalami stunting masih dapat mengejar hingga 90% potensi kecerdasan yang seharusnya.
Adapun anak yang sudah mencapai usia dua tahun, jika terus didukung dan diperbaiki nutrisinya hingga usia lima tahun, penurunan IQ bisa tidak terlalu banyak, bahkan bisa mengejar hingga minus 5 dari potensi seharusnya jika tidak pernah mengalami stunting. Bahkan langkah perbaikan dari segi nutrisi masih bisa diberikan hingga anak mencapai usia 9 tahun.
Zat Gizi yang Berperan dalam Pertumbuhan Panjang atau Tinggi Badan Anak
Seperti sudah dijelaskan di awal, kunci menurunkan stunting adalah mengonsumsi asam amino esensial yang bersumber dari protein hewani. Hal ini dikarenakan kelengkapan, kecukupan dan bioavailabilitas asam amino esensial pada protein hewani lebih tinggi jika dibandingkan dengan protein nabati.
Protein nabati memiliki limiting amino acids yang menghasilkan pembentukan protein misalnya hormon pertumbuhan yang kurang efektif. Meskipun demikian, perlu memperhatikan juga perbandingan protein dan energi untuk mencapai kenaikkan berat badan atau tinggi badan yang cukup.
“Perbandingan protein dan energi sebesar 1,6 gr/100 kcal atau 6,4% terbukti secara konsisten menghasilkan penambahan panjang memuaskan pada anak normal, tetapi dalam keadaan malnutrisi mulai dari weight faltering sampai stunting diperlukan perbandingan protein dan energi yang lebih besar dari 10%.
Baca juga: KB Pasca Persalinan Cegah Lahirnya Bayi Berpotensi Stunting
Konsumsi asam amino esensial akan mempengaruhi pembentukan protein dan lemak dalam tubuh, termasuk hormon pertumbuhan. Di antara sumber protein hewani, susu dan telur mempunyai nilai DIAAS (digestible indispensable amino acid score) tertinggi dan penelitian membuktikan berperan paling penting dalam pencegahan stunting,” ungkap Prof. Damayanti.
Sebanyak 20% anak mulai mengalami stunting sejak lahir, 20% pada saat mendapatkan ASI (0-6 bulan), 50% pada masa MPASI, serta 10% di atas usia 3 tahun. Berdasarkan ini, WHO merekomendasikan inisiasi menyusu dini (di bawah 1 jam setelah lahir) agar dapat mencapai ASI eksklusif selama 6 bulan, pemberian MPASI paling lambat dimulai pada usia 6 bulan sambil meneruskan pemberian ASI.
Sayangnya hingga tahun 2010, Prof. Damayanti masih menemukan bahwa pemberian ASI eksklusif 6 bulan di Indonesia baru berkisar 15%, padahal ASI memiliki komponen bioaktif yang tidak dimiliki susu formula manapun. Adapun pemberian MPASI harus dilakukan harus tepat waktu, kandungan nutrisi yang cukup dan seimbang, baik makro maupun mikro, aman, serta diberikan secara responsif. Berdasarkan data Riskesdas 2010, ternyata hanya sekitar 38% MPASI di Indonesia yang mengandung protein hewani.
Strategi percepatan penurunan stunting sendiri dirumuskan melalui 3 tahapan. Dimulai dari pencegahan primer pada bayi normal di Posyandu dengan mensosialisasikan ASI, MPASI dan makanan keluarga berbasis protein hewani, serta penimbangan berat badan setiap bulan untuk mendeteksi dini weight faltering.
Selanjutnya, anak dirujuk ke Puskesmas dan menjalani pencegahan sekunder saat bayi sudah mengalami weight faltering, berat badan kurang, gizi kurang dan gizi buruk. Di Puskesmas harus ditangani dokter layanan primer yang mendeteksi dini serta menata laksana segera penyakit penyerta misalnya tuberkulosis, infeksi saluran kemih, ISPA dan lain-lain serta memberikan terapi pangan olahan untuk keperluan diet khusus (PDK)