RS Universitas Indonesia (RSUI) kembali menggelar rangkaian seminar awam yang diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan masalah kesehatan spesial Hari Tuberkulosis Sedunia. Seminar ini memiliki tajuk utama: “Puasa pada Pasien TB, Apakah Bisa Mengganggu Pengobatan?”.
Tuberkulosis menempati peringkat ke-13 dan penyakit menular ke-2 sebagai penyakit terbanyak yang menyebabkan kematian setelah COVID-19. Pada tahun 2021, diperkirakan 10,6 juta orang terserang tuberkulosis (TB) di seluruh dunia. Tahun ini, Hari TB Sedunia yang diperingati setiap tanggal 24 Maret bertepatan dengan bulan suci Ramadan. Bagaimana pasien TB berpuasa selama bulan Ramadan?
Seminar Awam Bicara Sehat ini hadir untuk memberikan pengetahuan dan informasi seputar isu yang diangkat. Seminar ini dimoderatori oleh Bu AndiIna Gustina Jaya, S.Sos.I yang merupakan wakil ketua PPTI (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia) cabang Depok. Narasumber pertama yaitu dr. Rania Imaniar, Sp.P yakni dokter spesialis pulmonologi dan kedokteran respirasi di RSUI. Dokter Rania membawakan materi berjudul “Apakah Pasien Tuberkulosis Boleh Berpuasa Ramadan?”.
Baca juga: Dari Seminar Awam Bicara Sehat: Pentingnya Self Love dan Berpikir Rasional pada ODHIV dan ODHA
Beliau mengawali materi dengan menjelaskan beberapa manfaat puasa secara umum diantaranya menurunkan kadar lemak dan gula darah, meningkatkan sensitivitas insulin dan respon sel beta pankreas, serta menurunkan berat badan. Ada sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa puasa ramadan dapat meningkatkan kemampuan sel darah mononuklear dan makrofag untuk membunuh M.tuberculosis (penelitian in vitro membandingkan serum yang diambil dari orang sehat).
Dokter Rania mengatakan bahwa pasien tuberkulosis boleh berpuasa, asalkan tidak mengganggu aktivitas sehari-hari dan pasien tetap dapat minum obat dengan teratur. Jika ditemukan keraguan atau keluhan (misalnya mual-mual) sebaiknya berkonsultasi dengan dokter. Jika pasien sesak atau kalau misalnya saat mau mandi harus dibantu, maka kemungkinan pasien tidak bisa berpuasa.
Kemudian dokter Rania menjelaskan bagaimana pengaturan obat tuberkulosis saat berpuasa. Obat dapat diminum saat sahur atau berbuka puasa. Terdapat dua jenis obat tuberkulosis yaitu yang jenis KDT (Kombinasi Dosis Tetap) dan jenis satuan. Minum obat setidaknya 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan. Minumlah obat dengan air putih minimal 1 gelas.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan pasien TB saat berpuasa. Secara umum, pasien harus tidur cukup minimal 7 jam per hari, lakukan olahraga rutin minimal 5 hari dalam 1 minggu (sekitar 30 menit per harinya), serta hindari rokok dan konsumsi alkohol. Selain alkohol diharamkan bagi umat muslim, alkohol juga dapat berinteraksi dengan obat-obat TB. Saat sahur, sebaiknya hindari makanan yang berminyak, perbanyak makanan berserat seperti buah dan sayur, serta minum air putih (1 gelas setelah bangun tidur dan saat sahur).
Kemudian saat berbuka, pasien sebaiknya menghindari kopi dan soda, dan minum air putih (1 gelas saat: berbuka, setelah sholat maghrib, makan malam, sholat isya, sholat tarawih, dan sebelum tidur).
Namun perlu diperhatikan bahwa pengaturan minum air putih ini ditujukan bagi pasien TB tanpa komorbid (penyakit penyerta). Jika pasien memiliki komorbid selain TB, misalnya mengalami penyakit jantung, maka perlu ada pengaturan asupan cairan sesuai dengan petunjuk dokter. Pasien juga disarankan untuk mengonsumsi makanan sesuai dengan porsi gizi seimbang, yang terdiri dari 1/3 bagian piring berisi makanan pokok, 1/3 bagian piring berisi sayuran, 1/6 bagian piring berisi buah-buahan, dan 1/6 piring berisi lauk pauk hewani dan nabati.
Di akhir, dokter Rania menyampaikan beberapa kesimpulan diantaranya puasa memiliki berbagai manfaat bagi tubuh kita. Pasien TB boleh berpuasa bila dalam kondisi fit dan dapat minum obat dengan teratur. Apabila memiliki keraguan atau ada pertanyaan sebaiknya berkonsultasi dengan dokter.
Narasumber kedua pada seminar ini yaitu Apt. Sri Wulandah Fitriani, M.Farm yakni seorang apoteker di RSUI. Apoteker Wulan membawakan materi berjudul “Aspek Farmasi Pengobatan Pasien Tuberkulosis”.
Apoteker Wulan mengawali materi dengan menjelaskan bahwa terdapat dua jenis TB, yaitu TB SO (Sensitif Obat) dan TB RO (Resisten Obat). Jenis TB ini mempengaruhi pemberian obatnya, yaitu TBRO waktu pengobatannya lebih lama dan jumlah obat yang dikonsumsinya lebih banyak. Lama pengobatan TB bergantung tipe dan klasifikasi pasien TB serta hasil uji kepekaan bakteri, untuk TB sensitif obat, umumnya lama pengobatannya: a) tahap intensif (2-3 bulan), dan b) tahap lanjutan (4 atau 7 bulan). Pada tahap awal (intensif), pasien mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah resisten obat. Target pada tahap ini, yaitu BTA (+) menjadi (-) dalam waktu dua bulan. Sementara pada tahap lanjutan, pasien mendapat obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu lebih lama. Pada tahapan lanjutan ini sangat penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah kekambuhan.
Sementara pada pasien TB RO, waktu pengobatannya lebih panjang. Pengobatan standar jangka pendek selama 9-11 bulan, dan pengobatan individual selama 20-26 bulan. Apoteker Wulan mengatakan bahwa kunci pengobatan TB dalah teratur minum obat. Apabila ada dosis yang terlewat, dimungkinkan untuk mengulang pengobatan dari awal.
Untuk menyiasati minum obat TB saat puasa, Apoteker Wulan mengatakan bahwa terdapat perbedaan pada dua jenis obat. Pada obat dosis tunggal, obat diminum secara teratur 1 jam – 30 menit sebelum sahur. Sementara pada obat dosis terbagi, obat diminum secara teratur pada saat berbuka puasa, malam, dan sahur. Perubahan jadwal dan dosis dapat mempengaruhi terapi obat, sebab itu perlu kehati-hatian jika perlu perubahan.
Konsumsi obat TB dapat menimbulkan beberapa efek samping, mulai dari efek samping ringansedang seperti sakit kepala, diare, nyeri otot, kesemutan dan mual-muntah, hingga efek samping yang berat seperti sesak napas, jantung berdebar, lesu berkepanjangan, dan pendengaran berkurang. Jangan hentikan minum obat jika ada efek samping ringan-sedang, sedangkan jika muncul efek samping berat sebaiknya segera berkonsultasi dengan petugas kesehatan.
Antusiasme peserta sangat tinggi, dengan jumlah peserta sebanyak 140 orang, dan juga berbagai pertanyaan yang muncul pada seminar ini, diantaranya pertanyaan mengenai alasan mengapa jumlah obat TB yang harus dikonsumsi pasien banyak sekali. Apoteker Wulan dan dokter Rania mengatakan bahwa pengaturan dosis dan jumlah obat TB saat ini sudah diteliti oleh para ahli. Bakteri penyebab TB sangat banyak jenisnya, sehingga diperlukan beberapa jenis obat untuk mencegah terjadinya kekambuhan. Bisa jadi ada bakteri yang sensitif terhadap obat A, namun tidak sensitif terhadap obat B, oleh karena itu perlu kombinasi dari beberapa jenis obat, dari WHO menyatakan minimal 3-4 jenis obat. Pertanyaan lainnya yaitu terkait apakah ada vaksin TB untuk orang dewasa. Dokter Rania mengatakan bahwa vaksin untuk TB saat ini belum ada, namun masih terus diteliti. Sampai saat ini baru ada vaksin BCG saja yang diberikan pada bayi dan itu bukan untuk mencegah TB, tapi mencegah TB yang berat.
Bagi Sahabat RSUI yang masih penasaran mengenai keluhan atau pertanyaan terkait tuberkulosis, dengan senang hati dokter-dokter RSUI akan membantu memberikan saran medis di poli rawat jalan RSUI. RSUI berharap kegiatan Seminar Awam Bicara Sehat Virtual ini dapat terus hadir sebagai salah satu upaya promotif dan preventif kepada masyarakat luas. Untuk mendapatkan informasi terkait pelaksanaan seminar Bicara Sehat selanjutnya dapat dipantau melalui website dan media sosial RSUI.
Siaran ulang dari seminar awam ini dapat juga disaksikan di channel Youtube RSUI pada link berikut https://www.youtube.com/watch?v=PUg1uqr5vXU
Foto utama oleh Rauf Alvi dari unsplash