KOLOM DIGITAL EDUCATION OLEH M. GORKY SEMBIRING
“Semua hal yang tidak atau belum berhasil kita wujudkan selama perjalanan hidup ini, hendaknya tidak serta-merta dipaksakan untuk diwujukan oleh anak-anak kita!”
Judul kita: “Apakah anak merupakan perpanjangan ambisi orang tua?”
Jadi paradoks, ya!
Katakan dalam perjalanan hidup ini sebagai orang tua kita dianggap berhasil. Lalu dengan penuh percaya diri mengajarkan hal itu kepada anak-anak. Di sisi lain, tak jarang pula banyak orang tua condong memaksakan apa yang gagal mereka wujudkan agar diupayakan dalam perjalanan kehidupan anak-anaknya.
Adakah jaminan anak-anak pasti berhasil jika capaian keberhasilan kita itu diajarkan dan memaksa mereka melakukannya? Apa lagi memaksakan hal yang dianggap baik, namun kita saja gagal menggapainya dalam pengalaman sebelumnya?
Pengalaman hidup dengan keberhasilan sekalipun belum menjamin berhasil ditularkan ke anak. Apa lagi cerita hidup yang gagal. Lalu kita minta mereka menerapkannya. Pastilah terbeban.
Ingat saja, dalam hidup itu ada waktu, ada momen. Juga berbatas. Tiap orang ada eranya, tiap era ada orangnya. Era akan selalu dan terus berubah. Menolak perubahan, berarti menolak realitas kehidupan.
Baca juga: QOTD: Mengapa kurikulum pendidikan di Indonesia berubah terus?
Mengalir bersama proses jauh lebih bermakna daripada sekedar menikmati hasil akhir di ujung. Ya, momen terindah dalam hidup justru saat berkesempatan mengekspresikan kegembiraan ketika berproses. Bukan sekadar menikmati hasil di ujungnya.
Apa pun yang kita lakukan dengan hati berbunga ketika berproses akan selalu menjadi ringan menjalaninya. Seolah berproses tanpa usaha. Di titik tersebut rasa, cipta serta karsa akan berkerja sinergis dan alami secara optimal.
Lalu, apa dan bagaimana orang tua “memperlakukan” anak-anak dalam menatap masa depan yang selaras dengan kesejatian mereka?
Mari simak 5 orientasi, yakni atmosfir, dialog, substansi, orientasi dan mekanisme sebagai berikut.
Pertama, tumbuhkan atmosfir di rumah agar semua anggota keluarga menjadi kesatuan utuh. Saling mendukung secara sinergis, mendapatkan kesempatan mencari dan menemukan jati diri masing-masing. Memiliki momentum menjadi diri sendiri sesuai tahap dan perkembangan usia maupun jiwa.
Baca juga: Entaskan 65 Balita dari Stunting, Kepala BKKBN Apresiasi Adaro Energy Tbk
Kedua, ciptakan dialog yang memungkinkan anak-anak menemukan jati diri. Suasana dialogis menjadi keniscayaan. Semua anggota keluarga memiliki “derajat” setara dalam berkomunikasi. Suasana dialogis membebaskan diri tiap anggota keluarga dari kebiasaan yang belum tentu menjadi jati diri asli masing-masing. Ini jalan menemukan ekspresi diri yang sejati. Diperlukan jalan lurus dan luas menguatkan kemauan sehingga terhindar dari kemungkinan menyediakan sangkar keraguan bagi anak-anak.