Ketiga, fokuskan substansi yang didialogkan secara mendalam. Libatkan anak-anak secara aktif terutama terkait dengan pendidikan. Pendidikan dalam arti utuh. Ketika mengelaborasi teks dan konteks pendidikan, dialog kita tidak berhenti sampai “kata” belajar, pembelajaran dan pengajaran. Lebih utuh dan luas lagi. Belajar, pembelajaran dan pengajaran merupakan bagian dari pendidikan. Namun dari sisi pedagogik, ketiganya tidak selalu menghasilkan ujung dari pendidikan sesungguhnya.
Ilustrasi, misal pengajaran tentang jenis kejahatan perbankan. Bisa jadi malah yang belajar akan “menjadi ahli” dalam hal tersebut. Pendidikan dengan kerangka pedagogi utuh, apakah itu belajar, pembelajaran atau pengajaran selalu berakhir pada hasil positif dan bermakna. Sesuai hakikat pendidikan.
Keempat, selaraskan orientasi pengembangan pelaksanaan dialog tentang pendidikan bersama anak-anak dalam suasana saling mendukung. Dilandasi perhatian, keperdulian dan keasadaran. Acap terjadi dialog tidak hadir bukan karena substansi yang tidak mumpuni. Namun semata karena hilangnya perhatian dan interaksi dialogis dengan tingkat kesetaraan memadai.
Baca juga: Jangan Khawatir Bila Bayi Bingung Puting, Ini yang Bisa Moms Lakukan
Dialog hadir namun minus perhatian di hati tiap pihak. Tidak efektif, apa lagi dikaitkan dengan era digital sekarang. Di mana pembelajaran sudah berjalan secara tatap maya, bukan semata tatap muka.
Kelima, sediakan mekanisme agar setiap anggota keluarga, terutama anak-anak, punya instrumen melakukan evaluasi. Bukan sekedar terhadap yang didialogkan, namun justru kemampuan melakukan evaluasi diri bagaimana anak-anak mengetahui mereka berada dalam jalur dan suasana yang pas. Pas dalam menentukan dan menjalankan apa yang baik dan benar untuk diwujudkan di kehidupan mereka kelak.
Agaknya semua anggota keluarga sadar bahwa anak bukan semata apa lagi mutlak sebagai perpanjangan ambisi orang tua.
Dari kelima “apa” dan “bagaimana” dalam orientasi di atas, dapat dibayangkan hal luar biasa, yang sesungguhnya bisa dilakukan dan diwujudkan anak-anak secara sederhana. Orang tua wajib berkomitmen membantu mewujudkan.
Caranya?
Jika menyukai bunga, misalnya, jangan memetik dan mengambilnya, karena akan layu kemudian mati. Artinya, akan berhenti menjadi apa yang seharusnya. Jika menyukai bunga, biarkanlah mekar apa adanya. Di tempatnya. Perlu kesadaran bahwa cinta dan perhatian bukan tentang kepemilikan. Cinta dan perhatian terkait kemampuan memelihara dan menghargai. Anak-anak adalah “sesuatu” yang berharga bahkan “segalanya”.
Menyukai selalu melibatkan cinta dan emosi. Saling terkait. Apakah kita menggunakan emosi untuk mengikatkan diri atau justru membebaskan diri dalam mencari kesejatian diri anak-anak?
Emosi merupakan cerminan dan dasar bagaimana merasakan, berpikir dan akhirnya bertindak kreatif. Kreatif sesungguhnya cara kita mencintai kehidupan. Oleh sebab itu, menjadi kreatif mewujud ketika kita mencintai kehidupan sekaligus berniat meningkatkan keindahan dan faedahnya.
Kreatif sedemikian rupa memaknai pendidikan bukan sekedar kaitannya dengan belajar, pembelajaran dan pengajaran. Perlu diperdalam secara dialogis dalam keluarga. Untuk kepentingan anak-anak, kita wajib menanamkan pendidikan secara maknawi.
Dalam tataran tertentu, kata dan konsep belajar, pembelajaran dan pengajaran acap “tidak selalu” berujung dalam konotasi positif. Untuk menghindari potensi konotatif tersebut, perlu merujuk pada konsep segitiga didaktik. Yakni cara pandang dari sudut guru (termasuk kita sebagai orang tua), anak (sebagai siswa jika di sekolah) dan pengetahuan (pelajaran).
Hubungan guru dan murid, seperti diungkap G. Biesta, disebut relasi pedagogis, bukan relasi belajar. Adalah perlu mempelajari pedagogik sebagai instrumen dan suplemen mendampingi anak bertumbuh dan berkembang.
Baca juga: Bersama Kemendikbudristek Berbagi Praktik Baik dan Semangat Anti Perundungan
Dengan cakrawala demikian, secara elaboratif kerja atau tugas guru adalah mengajar dan mentranposisi pengetahuan. Sementara tugas murid adalah belajar atau mempelajari. Misal membaca, membuat makalah, mengerjakan soal matematika, atau melukis.
Tugas murid, yaitu belajar, akan tampak dan dirasakan jelas bukan saja oleh guru tetapi juga murid. Tegasnya, ultima pendidikan bukan sekedar terkait dengan belajar, pembelajaran dan pengajaran semata.
Lalu, apakah anak merupakan perpanjangan ambisi orang tua, baik yang dianggap manjur ataupun yang tak sempat diwujudkan di eranya?
Manusia, termasuk anak-anak kita, seperti benih. Kita dapat mempertahankan sebagaimana adanya. Atau, membuat tumbuh menjadi pohon indah menghasilkan bunga dan buah. Bermanfaat bagi semesta. Kita diingatkan, kepercayaan diri berlebih dan kekakuan yang tinggi merupakan kombinasi negatif. Uniknya, keduanya acap datang seiring sejalan.