Puncak Festival Kurikulum Merdeka yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (Ditjen PAUD Dikdasmen), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) turut menyajikan dua sesi gelar wicara dalam rangka menghimpun berbagai praktik baik dan cerita perubahan untuk memperkuat semangat ekosistem pendidikan Indonesia mengimplementasikan Kurikulum Merdeka di Tahun Ajaran 2024/2025.
Dua sesi gelar wicara tersebut diselenggarakan di Plenary Hall, Jakarta Convention Center, Jumat (5/7), di tengah-tengah meriahnya suasana gelaran pameran Potret Cerita Kurikulum Merdeka, dan antusiasnya pengunjung mendatangi stan-stan program prioritas Ditjen PAUD Dikdasmen serta stan-stan Mitra Pembangunan Kemendikbudristek.
Gelar wicara sesi pertama dengan tema “Belajar Lebih Bermakna dan Menyenangkan” menghadirkan narasumber mencakup perwakilan peserta terpilih Potret Cerita kategori orang tua, peserta didik, guru, serta seorang guru dan pegiat pendidikan, Galih Sulistyaningra, dan dipandu oleh Nucha Bachri. Tak kalah menarik, sesi gelar wicara kedua dipandu oleh Shahnaz Haque mengangkat tema “Semua Punya Peran: Gotong Royong Ekosistem Pendidikan”, yang mengungkap pengalaman, wawasan, dan inspirasi dari orang tua, kepala sekolah, pemerhati pendidikan serta perwakilan pemerintah daerah terkait implementasi Kurikulum Merdeka serta refleksi pembelajaran di tahun ajaran 2023/2024.
Elonamayo Laturiuw, Kepala SMA Kristen YPKPM Ambon, yang akrab disapa Lanny salah satu narasumber pada gelar wicara sesi kedua mengungkapkan pengalaman paling berkesannya dalam penerapan Kurikulum Merdeka adalah manfaat yang dirasakan oleh murid, guru, termasuk orang tua murid. Dari pengalaman pribadi, Lanny merasakan sendiri Kurikulum Merdeka telah membuka ruang bagi murid untuk memilih mata pelajaran dengan minat bakatnya, dan ini dipandang sebagai ciri khas yang sangat luar biasa.
Baca juga: UU KIA Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan Disahkan
“Kemandirian Kurikulum Merdeka memberi penekanan pada pendidikan karakter melalui Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) menghadirkan penerapan disiplin positif dan justru kemudian menjadi tren di sekolah. Kurikulum ini juga berdampak positif pada guru, dengan pembiasaan refleksi dan kolaborasi kemudian menjadi “gaya”-nya guru di kelas, termasuk fleksibilitas pada penerapan asesmen,” terang Elonamayo.
Ia mengungkapkan, selama penerapan Kurikulum Merdeka, beberapa perubahan mendasar terlihat jelas di sekolah yang dipimpinnya, mulai dari suasana pembelajaran menyenangkan, perubahan karakter murid, perubahan mindset guru terkait budaya kolaborasi, sampai pada keinginan guru untuk memacu diri untuk menjadikan sekolahnya sebagai sebagai “sekolah yang dicita-citakan”.
“Kurikulum Merdeka juga memberi dampak positif pada orang tua. Setiap memulai pertemuan dengan orang tua, kita terbiasa melakukan refleksi dan evaluasi. Hal ini terlihat salah satunya ketika pembagian rapor sekolah,” lanjutnya.
Partisipasi Aktif Orang Tua dan Pemda
Marthen Piter Zeth Meruntu, orang tua murid dari SMA Negeri 8 Manado, pada gelar wicara sesi kedua tersebut turut mengungkapkan bahwa Implementasi Kurikulum Merdeka memungkinkan orang tua untuk terlibat aktif dalam proses transformasi pendidikan di sekolah. Ia membagikan pengalaman seru dan menantang membersamai proses belajar anaknya di SMA Negeri 8 Manado, yaitu Junior (Kelas XII) dan Miracle (Kelas X).
“Saya percaya sekolah bukan tempat penitipan anak. Saya berkolaborasi dengan guru, bahkan berkomunikasi dengan guru mata pelajaran dan wali kelas. Tanpa dipanggil saya juga mengunjungi sekolah untuk memahami perkembangan anak, tanpa perlu ada panggilan penerimaan rapor. Terkadang orang tua takut datang ke sekolah. Ada beberapa faktor diantaranya khawatir anaknya bermasalah atau khawatir diminta pendanaan,” kata Marthen.
Ia bersyukur, sejak pembelajaran dengan Kurikulum Merdeka, anak-anak dapat memilih sesuai dengan potensi dan cita-citanya. Kurikulum ini, terang Marthen, memungkinkan sekolah berkolaborasi dan membudayakan mapalus (gotong royong khas Minahasa), untuk mengisi berbagai fasilitas dan keilmuan yang belum dapat dipenuhi sejauh ini oleh sekolah.
“Saya memutuskan membantu kegiatan di SMA Negeri 8 Manado di saat anak saya masuk sekolah mendaftar menjadi murid di sekolah tersebut. Anak saya mengambil jalur prestasi, karena dia pernah mendapatkan penghargaan rekor MURI sebagai penyelam termuda, dan semenjak SMP banyak mengikuti event kegiatan penyelaman. Saya kebetulan instruktur penyelam, kemudian berinisiatif kemudian ikut melatih murid di sekolah anak saya, tercetuslah ide untuk membentuk ekstrakurikuler dan kelompok diving di sekolah,” lanjut Marthen.
Dengan keterlibatan dan keaktifan Marthen di sekolah anaknya, beberapa inisiatif terkait kegiatan penyelaman dilakukan, termasuk pelatihan rescue dan sertifikasi dive master. Beberapa kegiatan terkait konservasi bawah laut kemudian dilakukan murid-murid sekolah anaknya di bawah bimbingan Marten, seperti penanaman terumbu kawang, riset dan penyuluhan kepada masyarakat pesisir pantai tentang pentingnya pelestarian lingkungan laut, termasuk kegiatan pengibaran bendera di bawah laut setiap memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia.
“Kami juga berkolaborasi bersama membuat program yang diberi nama Kamberu. Ini berasal dari kata Suku Minahasa yang memiliki arti hasil pertama bertani. Kamberu merupakan kampanye bertani urban yang melibatkan seluruh elemen sekolah baik murid guru dan orang tua. Saat ini kami juga menjalankan robotik dalam pertanian. Menjalankan riset bersama dengan peneliti dan petani. Kami juga mendorong hadirnya GEMA (Gerakan Aksi murid), dengan tujuan setiap aksi yang dilakukan murid dapat bergema di seluruh Indonesia,” tutur Marten.
Baca juga: Imunisasi Tidak Merusak Sel dan DNA
Talitha Amalia, pemerhati pendidikan yang turut menjadi pembicara dalam gelar wicara sesi kedua Puncak Festival Kurikulum Merdeka mengungkapkan, upaya kolaborasi dan gotong royong dalam penerapan Kurikulum Merdeka memang sangat penting untuk mewujudkan proses evaluasi dan peningkatan mutu pendidikan yang berkelanjutan. Sebagaimana tujuan Kurikulum Merdeka, pada intinya menekankan pembelajaran yang berpusat pada murid. Adi Prihantara, Sekretaris Daerah Provinsi Kepulauan Riau menegaskan, keberhasilan kebijakan Merdeka Belajar khususnya Kurikulum Merdeka pada dasarnya memang membutuhkan dukungan dalam berbagai bentuk dari semua pihak, tidak terkecuali pemerintah daerah. Keterlibatan tersebut dapat mendorong terciptanya ekosistem pendidikan yang inklusif dan kolaboratif untuk menciptakan SDM berkualitas di daerah-daerah.
Setiap pemangku kepentingan mempunyai peran untuk gotong royong mewujudkan pendidikan berkualitas bagi semua. “Gotong royong kita semua adalah gambaran geliat pendidikan yang semakin berpihak pada murid dan bentuk nyata dari berbagai inovasi pembelajaran yang telah dilaksanakan baik di ruang-ruang kelas atau di luar ruang kelas, di berbagai daerah di Indonesia”, jelas Aswin Wihdiyanto, Plt. Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus selaku ketua pelaksana Festival Kurikulum Merdeka. Mari bergerak bersama tingkatkan kualitas layanan pendidikan secara berkelanjutan bersama Kurikulum Merdeka.