Moms and Pops, hiperaktifitas pada anak bukanlah kondisi yang langka ditemukan saat ini di mana sang anak cenderung memiliki aktivitas gerakan tubuh yang eksesif dan cenderung sulit untuk mengendalikan diri ataupun memperhatikan lingkungan di mana mereka berada.
Tidak jarang, anak yang memiliki masalah hiperaktif ini melampiaskan ekpresi diri mereka secara spontan tanpa menunggu ataupun mempertimbangkan situasi dan kondisi serta keadaan saat itu. Misalnya, mereka akan berteriak saat berada di dalam kelas ketika guru tengah memberikan penjelasan bilama mereka memang merasa punya keinginan untuk melakukan hal tersebut.
Yang lebih memprihatinkan adalah ketika keadaan ini menyebabkan orang lain mengalami kerugian mulai dari kerusakan barang hingga yang bersifat mencelakakan misalnya karena menabrak akibat gerak yang kurang terkontrol.
Baca juga: Optimalkan Perkembangan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Bisa Cegah Stunting
Lantas, bagaimana menyikapi anak yang memiliki masalah demikian ini?
Hiperaktivitas sebenarnya telah sejak lama menjadi bagian dari perjalanan manusia yang saat ini dikenal dengan istilah ADHD atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Sir Alexander Crichton yang bisa dibilang sebagai Bapak ADHD, pertama kali menggambarkan kondisi “keresahan mental” di dalam bukunya yang berjudul An inquiry into the nature and origin of mental derangement tahun 1798 setelah ia mengamati beberapa anak yang terindikasi menunjukkan gejala tidak mampu memfokuskan perhatian dan gelisah atau biasa dikenal di dunia hiperaktivitas dengan istilah “fidgets”.
Akan tetapi deskripsi pertama yang lengkap tentang ADHD disusun oleh George Still tahun 1902 di mana ia menemukan bahwa faktor pengaruhnya bisa dari bawaan (nature) dan didikan (nurture).
Situs KidsHealth.org merumuskan 3 ciri utama hiperaktivitas: