Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyoroti berkembangnya fenomena kekerasan di dalam suatu hubungan yang dilakukan oleh pasangan atau bukan pasangan di Indonesia. Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, Eni Widiyanti mengungkapkan tidak sedikit perempuan di Indonesia yang terjebak dalam hubungan toxic yang mendasari terjadinya kekerasan.
“Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Tahun 2022 menunjukkan kekerasan terhadap perempuan (KtP) sebanyak 11.266 kasus terlapor dengan 11.538 korban dimana 45,28% nya merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan 1.151 kasus dengan pelakunya adalah pacar. Sedangkan, untuk korban kekerasan seksual sebanyak 2.062 korban. Hal tersebut menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan kerap kali terjadi di ranah domestik atau di dalam suatu hubungan,” ujar Eni dalam keterangan tertulisnya, akhir minggu lalu.
Baca juga: Safer Internet Day: KPAI Ajak Semua Pihak Berperan Dalam Meningkatkan Literasi Digital Pada Anak
Eni menuturkan, banyak perempuan dan remaja tidak menyadari tengah terjerat di dalam suatu hubungan yang tidak sehat atau toxic relationship. Tekanan-tekanan yang dirasakan secara emosional oleh satu pihak dalam hubungan kerap kali berujung pada kekerasan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan sedini mungkin agar perempuan dan remaja terhindar dari hubungan yang tidak sehat.
“Orang tua dan keluarga memiliki peran krusial dalam pencegahan dengan memperkuat hubungan antara orang tua dan anak. Jalin komunikasi terbuka dan perhatikan keseharian anak. Selain itu, lingkungan yang nyaman dan aman, penyebaran informasi dan penyediaan dukungan pun tidak kalah penting dalam mendukung anak menjalin hubungan yang positif,” tutur Eni.
Selain pencegahan, Eni menyampaikan, perlu dilakukan juga upaya penanganan bagi korban dan pelaku kekerasan. Orang terdekat diharapkan dapat memberikan dukungan serta meyakinkan korban untuk berani menolak, menentang, juga melaporkan segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh pasangan ataupun pelaku kekerasan.
Korban pun perlu diberikan penanganan khusus oleh psikater atau psikolog melalui pendampingan jika sekiranya mengalami trauma. Sementara itu, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut atau konseling dengan menelusuri masa lalu maupun kenangan akan peristiwa buruk yang mengakibatkan trauma serta konflik lainnya.
“Kita dapat menghindari tindak kekerasan di dalam suatu hubungan dengan mengenali calon pasangan secara menyeluruh sebelum memulai hubungan yang lebih mendalam, jangan terlalu cepat mengambil keputusan dan lebih bijak, berani mengambil sikap dan mengatakan tidak jika terjadinya suatu pemaksaan dalam hubungan, membangun komitmen yang sehat, serta perlu adanya orang terdekat yang kerap mengetahui, mengawasi, dan turut menjaga,” jelas Eni.
Lebih lanjut, Eni mengungkapkan, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia merupakan suatu fenomena gunung es dimana yang tercatat ataupun terlaporkan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan yang terjadi. Masih banyak korban kekerasan yang enggan melaporkan tindak kekerasan yang dialami ataupun yang diketahui.
Pemerintah Indonesia menaruh perhatian lebih akan kasus kekerasan yang terjadi di kalangan masyarakat, salah satunya adalah kasus kekerasan seksual. Negara hadir berkomitmen untuk melindungi masyarakat, khususnya perempuan dan anak dengan menghadirkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sebagai jaminan perlindungan dari kekerasan seksual dengan pengaturan hukum yang komprehensif mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam upaya memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual.
Dalam memberikan dukungan dan perlindungan terhadap perempuan dan anak, KemenPPPA menghadirkan Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129.
Kehadiran Call Center SAPA 129 dan WhatsApp 08111-129-129 bertujuan untuk mempermudah akses bagi korban atau pelapor dalam melakukan pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta pendataan kasusnya. Terdapat enam (6) standar pelayanan SAPA 129, diantaranya pengaduan masyarakat, pengelolaan kasus, penjangkauan korban, pendampingan korban, mediasi, dan penempatan korban di rumah aman.
Baca juga: Kolom GWTT: Bagaimana Menerapkan Mindfulness di tengah Keramaian?
“Kekerasan tak hanya secara fisik semata, tetapi juga psikis/mental, seksual, hingga penelantaran rumah tangga. Jika mengalami ataupun mengetahui kekerasan yang terjadi di sekitar, maka segeralah melapor, berani berbicara atau dare to speak up. Bersama-sama kita jaga dan tingkatkan komitmen untuk mewujudkan perlindungan bagi seluruh khalayak, khususnya perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan,” tandas Eni.
Foto utama oleh Melissa Askew dari Unsplash