“Mental health is not a destination, but a process. It’s about how you drive, not where you’re going.” – Noam Sphancer.
Kolom dr. Laksmita Dwana, S.S, Praktisi Kesehatan
Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi sudah menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat dan mampu menyediakan beragam kelebihan, seperti hiburan, bantuan pembelajaran, dan mendukung kegiatan dalam menyelesaikan pekerjaan agar lebih efektif dan efisien. Smartphone, atau ponsel pintar, merupakan salah satu ragam teknologi yangdigunakan oleh berbagai lapisan masyarakat sejak tahun 2011.
Emarketer, sebuah institusi penelitian pemasaran digital, mengungkapkan bahwa lebih dari 100 juta pengguna smartphone aktif di Indonesia dan Indonesia menduduki peringkat keempat di dunia sebagai negara dengan pengguna smartphone secara aktif setelah negara Cina, Indonesia, dan Amerika.
Pada beberapa tahun terakhir, tampak adanya peningkatan angka penggunaan smartphone pada kelompok anak dan orang muda. Di waktu yang bersamaan, gangguan mental pada kelompok usia serupa juga ditemukan mengalami peningkatan, seperti adanya gangguan depresi, gangguan tidur, dan ide bunuh diri. Sebuah survei yang melibatkan orang tua di Indonesia menunjukkan bahwa 90% jenis gawai yang digunakan oleh anak-anaknya yang berusia 4-6 tahun adalah smartphone dan tablet.
Kemudian, 11% di antaranya telah memiliki smartphone atau tablet pribadi dan 26% di antaranya menunjukkan tanda dari adiksi gawai (gadget addiction). Data tersebut juga mengungkapkan bahwa 28% dari anak berusia 4-6 tahun menggunakan smartphone dan tablet untuk tujuan pendidikan, 22% menggunakannya untuk bermain, dan 50% untuk tujuan edukasi dan bermain dengan rerata waktu penggunaan sebanyak 62 menit per hari.
Diketahui bahwa saat bermain gawai, tubuh akan mengeluarkan hormon dopamin yang berperan dalam reward system, sehingga akan akan merasa senang dan memiliki motivasi yang tinggi. Jika anak terlalu sering terpapar gawai, penangkap sinyal dopamin di otak menjadi tidak sensitif, sehingga ia akan berusaha meningkatkan paparan agar produksi dopamin cukup.
Pada akhirnya, perkembangan otak yang berfungsi mengatur emosi dan impulsivitas rentang terganggu. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa >20% anak dan remaja alami gangguan mental dan perilaku akibat kecanduan gawai, dengan gejala sebagai berikut:
- Tak merasa terganggu dengan paparan gawai yang lama.
- Bereaksi berlebih jika gawai bermasalah, seperti kehabisan baterai.
- Sangat terfokus pada gawai.
- Abai dengan aktivitas penting lainnya, seperti makan dan tidur.
- Tetap menggunakan gawai meskipun mengetahui resikonya.
Sekarang, apa saja yang dapat dilakukan oleh Moms and Pops untuk meminimalisir resiko kecanduan gawai pada anak?