Permohonan dispensasi perkawinan anak di Indonesia masih tinggi, tercatat 65 ribu pengajuan pada 2021 dan 55 ribu pengajuan pada 2022. Hal ini menjadi salah satu temuan dalam studi Dispensasi Perkawinan Anak: Apakah untuk Kepentingan Terbaik Anak?.
Plan Indonesia meluncurkan hasil studi ini bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pada Senin 19 Juni 2023. Peluncuran ini yang dihadiri oleh Mahkamah Agung (MA), anak-anak pendidik sebaya, perwakilan Kementerian/Lembaga terkait, Pemerintah Daerah serta para aktivis penggerak hak anak.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menyampaikan apresiasi kepada Plan Indonesia dan berbagai pihak yang terlibat atas inisiasinya dalam Peluncuran Laporan Studi Dispensasi Kawin, dengan tema “Quo Vadis Kepentingan Terbaik bagi Anak dalam Putusan Dispensasi Kawin”. Tentunya hal ini merupakan sumbangsih nyata dari Plan Indonesia bagi upaya perlindungan anak di Indonesia.
“Semoga, upaya yang kita lakukan bersama dapat memberikan hasil yang baik dan berkelanjutan, untuk memberikan kehidupan terbaik bagi anak-anak kita, serta mewujudkan Indonesia Emas 2045,” ujar Menteri PPPA.
Baca juga: Keren dan salut, SAVE THE CHILDREN dan Anak-Anak Aksi Bersih di Waduk Cincin
Menteri PPPA mengungkapkan melihat fenomena perkawinan anak, tentunya upaya pencegahan yang kita lakukan ke depan harus lebih terstruktur, holistik, dan integratif; memadukan kerja sama antar sektor, termasuk menggandeng berbagai pihak seperti lembaga swadaya masyarakat/organisasi masyarakat, media massa, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga masyarakat itu sendiri.
Menteri PPPA mengatakan penelitian ini telah menghasilkan beberapa rekomendasi untuk Pemerintah Pusat sampai Daerah, Mahkamah Agung, orangtua, pimpinan adat, agama dan masyarakat dalam upaya pencegahan perkawinan anak sesuai tugas dan fungsinya.
“Karena itu, kami berharap laporan studi ini dapat menjadi acuan bagi seluruh stakeholder dalam menyusun kebijakan, program dan kegiatan pencegahan perkawinan anak. Kami juga berharap agar semangat yang kita bangun hari ini tidak akan berlalu begitu saja setelah acara ini selesai, tetapi dapat terus ditingkatkan khususnya sinergi dan kolaborasi dalam upaya mendorong pemenuhan hak anak menuju Indonesia Layak Anak 2030 dan Indonesia Emas 2045,” ungkap Menteri PPPA.
Lebih lanjut, Rini Handayani, Plt Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak KemenPPPA berharap studi ini dapat memberikan gambaran tentang situasi perkawinan anak dan menemu kenali langkah langkah strategis yang akan diambil dalam menekan angka perkawinan anak termasuk percepatan upaya pelaksanaan strategi nasional pencegahan perkawinan anak.
“Kami berharap berbagai praktik baik dan rekomendasi yang disampaikan dalam forum ini dapat kita tindak lanjuti secara kolaboratif untuk perbaikan sistem, struktur, dan kebijakan termasuk penegakan hukum dalam percepatan RPerpres Stranas Pencegahan Perkawinan Anak, serta evaluasi Perma No.5 tahun 2019 untuk lebih mempertajam amanat Perma tersebut,” tambah Rini.
“Perbaikan penting untuk diakselerasi karena sejalan dengan arahan Presiden RI kepada KemenPPPA untuk pencegahan perkawinan anak. Hal ini mendesak karena perkawinan anak memiliki implikasi terhadap tujuan pembangunan lainnya seperti gagal tumbuh kembang anak atau stunting, kemiskinan yang berlanjut, pekerja anakdan angka putus sekolah, hingga masalah kesehatan reproduksi,” ujar Rini.
“Tujuan studi ini adalah untuk melihat sejauh apa kepentingan terbaik anak menjadi pertimbangan hakim dalam proses mengadili permohonan dispensasi perkawinan anak. Oleh karenanya keterlibatan MA, KemenPPPA, anak pelopor dan pemerintah daerah serta stakeholder lainnya dalam peluncuran studi ini sangat penting untuk membangun kolaborasi ke depan untuk meninjau kembali efektivitas implementasi Perma No.5 tahun 2019 dalam upaya menekan angka perkawinan anak,” ujar Direktur Influencing Plan Indonesia Nazla Mariza.
Nazla menjelaskan salah satu temuan utama studi ini adalah keputusan dispensasi sangat ditentukan oleh interpretasi hakim yang berbeda terhadap kepentingan terbaik bagi anak. Hakim yang memiliki sertifikat hak anak, cenderung mempertimbangkan hak-hak anak sebagai dasar keputusannya. Namun, norma gender dan norma sosial yang tidak selalu sejalan dengan pemenuhan hak anak, ternyata masih mempengaruhi keputusan hakim.
Selain mengulas perspektif hakim, studi yang dilakukan pada bulan Juni sampai Agustus 2022 di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Sukabumi ini juga mengkaji perspektif anak dan orang tua. Studi menganalisa sejauh apa anak memiliki ruang aman untuk menyampaikan pendapatnya di hadapan hakim tanpa adanya tekanan. Selain itu, apa saja layanan yang diterima oleh anak setelah permohonan dispensasi disetujui, serta sejauh apa anak dan orang tua memahami dampak perkawinan anak.
Anak belum tentu benar-benar memahami dampak perkawinan bagi hidupnya. Seperti penuturan Resi Ajhari (18) pendidik sebaya dari Kabupaten Sukabumi, “Saya terus berupaya memberikan pemahaman kepada teman-teman di sekolah maupun di desa tentang dampak perkawinan anak. Ternyata perlu beberapa kali pemahaman diberikan kepada kawan yang berniat menikah di usia anak, hingga ia kemudian paham dan membatalkan niatnya,” kata Resi Ajhari.
Selain Plan Indonesia, dua peneliti lainnya dari Koalisi 18+ dan Wahana Visi Indonesia turut menyampaikan hasil penelitiannya terkait dispensasi perkawinan anak. Koalisi 18+ menganalisa lebih mendalam putusan dispensasi berdasarkan dokumen hasil keputusan perkara dispensasi di pengadilan negeri. Sedangkan Wahana Visi Indonesia menganalisa faktor penentukeberhasilan menunda pernikahan sampai di atas 18 dengan cara membandingkan orang yang menikah di usia anak dengan yang tidak.
Baca juga: Jangan Sampai Lewatkan Masa Golden Age Pada Anak!
Berbagai studi ini mengindikasikan perlunya evaluasi implementasi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin (PERMA 5/2019). Plan Indonesia meminta Mahkamah Agung hakim yang memutuskan perkara dispensasi kawin wajib memiliki sertifikat hakim anak dan perspektif anak dan kesetaraan gender.
Selain itu, Mahkamah Agung perlu meningkatkan jumlah dan kualitas hakim melalui pelatihan ataupun bimbingan teknis tentang perempuan berhadapan dengan hukum atau bersertifikat sistem peradilan pidana anak. Harapannya di masa yang akan datang seluruh hakim yang memutuskan permohonan dispensasi kawin sudah berkualifikasi hakim anak.
Foto utama oleh Angel Lopez dari Unsplash