KOLOM DIGITAL EDUCATION OLEH M. GORKY SEMBIRING
Teringat penggalan lirik bait awal senandung Whitney Houston berjudul “Greatest Love of All” dengan proses kontekstualisasi, sebagai berikut: “Saya yakin anak-anak adalah masa depan kita. Ajari mereka dengan baik dan biarkan mereka memimpin. Tunjukkan pada mereka semua keindahan yang mereka miliki dari dalam diri masing-masing. Beri mereka rasa bangga agar membuatnya lebih mudah. Biarkan tawa ceria anak-anak mengingatkan kita bagaimana kita dulu juga (pernah) memilikinya!”
Keren! Inspiratif. Bisa menguatkan pemahaman mengapa pola pengasuhan anak (dalam konteks parenting) menjadi penting.
Lalu, ada pula ungkapan: “Tak ada orang tua yang sempurna. Cukuplah menjadi orang tua yang nyata dan sesuai dengan realita saja.”
Timbul pergulatan, di satu sisi kita dituntut “lebih” sementara sesungguhnya justru memiliki kondisi “kurang” di saat bersamaan. Bagaimana menyikapi fenomena dan problematika ini?
Baca juga: Tahukah Moms? Ini 6 Sayuran Terbaik Untuk Penambah Darah Ibu Hamil
Untungnya, ada pula kata bijak yang sudah mengakar bagi bangsa Jepang dan jelas menguatkan. “Kebaikan seorang ayah lebih tinggi dari gunung. Kebaikan seorang ibu lebih dalam dari lautan!” Kita mendapatkan kata kunci sakti, yakni kebaikan.
Lantas dalam beberapa dekade terakhir, kita diperkenalkan pula dengan pola pengasuhan dalam konteks parenting di mana salah satunya disebut sebagai pengasuhan demokratis. Ini menyiratkan bahwa kita dititahkan “membiarkan” anak-anak bebas melebarkan sayapnya melalui penguatan dan perbuatan positip.
Tersirat, kita wajib mencintai anak-anak lebih dari kemampuan dan kemauan mereka. Cinta kita, dalam bentuk perhatian kepada anak-anak, harus lebih dari sekadar keberadaan dan pencapaian mereka. Berarti anak-anak sesungguhnya lebih membutuhkan kehadiran dan perhatian dibandingkan dengan pemberian yang mampu kita sediakan. Tiap kata, ekspresi, gerak tubuh atau tindakan harus menyiratkan pesan bahwa mereka sangat berharga di mata apa lagi di hati sanubari kita.
Anak-anak jelas membutuhkan cinta. Apa lagi di saat menghadapi kehampaan. Bisa jadi kita tak mampu mempersiapkan masa depan bagi mereka. Namun sekurang-kurangnya berupaya semampunya mempersiapkan mereka untuk kehidupan di masa depan.
Berikut pokok bahasan yang membantu kita menuju ke arah itu. Yaitu: (1) Memahami Pola Asuh Demokratis, (2) Ciri Pola Asuh Demokratis, (3) Contoh Pola Asuh Demokratis, (4) Keuntungan dan Kerugian Pola Asuh Demokratis, (5) Kelemahan Pengasuhan Demokratis, dan (6) Tips untuk Pengasuhan Demokratis.
Baca juga: Wujudkan Satuan Pendidikan Ramah Anak, Pemda dan Tenaga Pendidik Harus Terlibat
Pola asuh demokratis memiliki ciri dan daya tarik tersendiri. Memungkinkan lebih banyak ruang menanamkan kemandirian dan otonomi pada anak. Masih ada perdebatan apakah ini bentuk pengasuhan terbaik. Namun ada baiknya mempelajari beberapa cara hebat memahami bagaimana mendisiplinkan anak pada usia belia.
Jika hanya mengikuti intuisi dan tidak melihat gambaran yang lebih besar dari tindakan, kata-kata, dan akibatnya pada anak kemudian, itu bisa menjadi kontraproduktif bagi perkembangan mereka. Disiplin yang ketat penting. Namun harus mampu belajar menyesuaikan diri dengan kemampuan dan keadaan anak. Jika tidak, akan sulit membesarkan mereka menjadi warga negara bertanggung jawab. Jika ini membuat kita penasaran untuk belajar tentang pengasuhan demokratis, berikut orientasi yang pas untuk mempelajari dan mewujudkan hal tersebut.
Luar Biasa Pak Prof…🙏terimaksih ilmu nya semoga kami bs jd ortu yg demoktratif…