Edukasi mengenai Keluarga Berencana (KB) sangat penting bagi pasangan dalam membina rumah tangga, terutama ketika menentukan jumlah anak yang diinginkan.
Berdasarkan catatan United Nations Fund for Population Activities (UNFPA), sebanyak 121 juta kehamilan yang terjadi setiap tahun di dunia merupakan kehamilan tidak direncanakan. Angka tersebut merupakan 60% dari jumlah kehamilan dunia.
Hal tersebut terungkap saat acara Peluncuran Laporan Situasi Kependudukan Dunia atau State of World Population (SWOP) 2022 yang mengangkat tema Waktunya untuk Bertindak dalam Krisis Kehamilan Tidak Direncanakan yang diselenggarakan di Bogor, akhir minggu lalu.
Deputi Bidang Pengendalian Penduduk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Bonivasius Prasetya Ichtiarto dalam sambutannya menegaskan, salah satu risiko dari kehamilan yang tidak diinginkan adalah anak yang dilahirkan mengalami stunting.
Baca juga: Memperingati Pekan ASI Sedunia, Yuk Ketahui Manfaat Tak Terkalahkan ASI Bagi Anak!
“Maka dari itu perlu dilakukan upaya mitigasi diri untuk mencegah anak-anak kita dari dampak jangka panjang dan luas dari stunting termasuk dari peran dalam keluarga,” kata Boni dalam keterangan tertulisnya.
Upaya mitigasi tersebut, kata Boni, akan menentukan kualitas generasi penerus bangsa untuk mewujudkan generasi emas Indonesia. Peran pemerintah dalam menyediakan layanan berkualitas di bidang pembangunan juga menjadi penting dalam upaya menekan risiko stunting yang secara nasional targetnya 14% pada 2024 mendatang.
Boni menjelaskan, berdasarkan data Good Mention Institute yang dikutip dalam laporan estabillity tahun 2022, isu kehamilan yang tidak diinginkan di Indonesia antara tahun 2015 hingga 2019 yakni sebanyak 40%. Jumlah tersebut mendekati dari angka kehamilan yang tidak diinginkan di dunia sebesar 60%.
“Walaupun lebih sedikit tapi 40 persen juga angka yang besar. Indonesia sendiri berdasarkan data WHO terdapat 200 juta kehamilan pertahun dimana sebanyak 75 juta kehamilan atau 30 persen diantaranya merupakan kehamilan yg tidak diinginkan,” ujarnya.
Boni pun berharap melalui Peluncuran Laporan Situasi Kependudukan Dunia tersebut para pemangku kepentingan di pusat hingga daerah dan seluruh mitra kerja BKKBN maupun UNFPA Indonesia untuk saling berkolaborasi dan menjaga komitmen untuk menjamin pemenuhan hak-hak reproduksi.
“Hak-hak reproduksi dimaksud, di antaranya, khususnya bagi perempuan dan anak/remaja perempuan, dalam memutuskan dan memilih apakah akan memiliki anak, dengan siapa akan mempunyai anak, kapan akan hamil dan melahirkan, serta berapa jumlah anak yang diinginkan,” tuturnya.
Sementara itu, UNFPA Representative Indonesia Anjali Sen dalam sambutannya mengatakan, kehamilan tidak direncanakan bisa terjadi kepada siapa pun, termasuk orang yang kita kenal. Permasalahan ini pun seakan menjadi lumrah karena jumlahnya yang begitu banyak.
“Karena itulah krisis ini pada umumnya tidak terlihat, tapi kita tidak bisa membiarkan terus tidak terlihat. Ada kehidupan yang dipertaruhkan disini. Kita harus segera mengambil tindakan mengakhiri krisis ini”, ujar Anjali.
Anjali menambahkan, kehamilan yang tidak direncanakan memaksa perempuan dan anak perempuan untuk menghadapi situasi tersebut secara terpaksa, termasuk memilih pasangan yang tidak mereka kehendaki.
Baca juga: Transformasi Layanan Primer Kemenkes Fokus Pada Pencegahan di Puskesmas dan Posyandu
Berdasarkan State of World Population (SWOP) yang telah diluncurkan di Kantor Pusat UNFPA, New York pada 30 Maret 2022, di 47 negara, sekitar 40% dari perempuan yang aktif secara seksual tidak menggunakan metode kontrasepsi apapun untuk menghindari kehamilan.
Studi juga menunjukkan lebih dari 60% kehamilan tidak direncanakan, dan hampir 30% dari semua kehamilan akhirnya diaborsi, 45% dari semua aborsi yang dilakukan secara global tidak aman.
Foto Utama oleh Artem Beliaikin dari Unsplash